Mohon tunggu...
Darmaila Wati
Darmaila Wati Mohon Tunggu... Administrasi - Freelancer

Hanya setitik upil pada luasnya jagad raya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Film "Istirahalah Kata Kata" Hanya bagi Kaum Borju di Medan

21 Januari 2017   03:50 Diperbarui: 21 Januari 2017   03:54 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Siapa yang tidak kenal slogan “Hanya ada satu kata : Lawan!” ? Bahkan lebih sering terdengar dibanding nama dibalik kalimat itu pada  musim demo menuntut pemerintahan Orde Baru turun pada 1998. Kalimat yang mampu membangkitkan semangat perjuangan kaum muda pada  masa itu hingga saat ini. Hampir semua kelompok perlawanan menjadikan kalimat pendek itu sebagai mantra perjuangan mereka dari  kaum tani, buruh, guru , mahasiswa dan para proletrat lainnya.

Tokoh yang menorehkan kalimat perjungan dalam syair-syairnya itu pun lalu dikenang sebagai sosok misterius. Widji Thukul raib, entah kemana? Menghilang bersama dua belas aktivis lainnya sejak 1998 hingga saat ini. Kabar khilangannya menjadi perbincangan bahkan perdebatan dalam ruang publik. Bahkan ada pula yang meragukan kehilangannya. Beberapa temannya yang lain berfirasat  Thukul hanya memilih untuk tidak lagi pernah muncul. Namun tidak sedikit berpendapat, Thukul hilang secara paksa (involuntary disappearances)  oleh kekuasaan militer saat itu.

Nyatanya, istri yang sangat mencintai Tukul, Sipon kekeuh berkeyakinan kalau Tukul diculik oleh alat kekuasaan pada  medio  Mei 1998 bersama aktivis lainnya. Setelah dua tahun tidak kunjung mendapat kabar suaminya, Sipon pun melaporkan kehilangan Tukul ke Kontras.

Sebenarnya Tukul  bukan satu-satunya yang dihilangkan dalam catatan sejarah di negeri ini. Ada ribuan orang lainnya. Terekam jejak pada tahun 1965-1966, menurut Robert Cribb dalam penelitiannya yang berbuah buku  “Palu Arit di Ladang Tebu” diperkiran 500.000 orang menjadi korban pembantaian tanpa proses pengadilan dengan hanya berlatar tuduhan PKI, ribuan orang lainnya di Aceh dan Papua, peristiwa Lampung,  Priok, Haor Koneng, serta kerushan Mei 1998.

Namun kehilangan terhadap Wiji Tukul membangkitkan rasa tersendiri. Kita seperti kehilangan simbol perlawanan rakyat terhadap tiran. Yah... kata-kata dalam Syair Tukul selalu menyiratkan semangat membangkitkan jiwa rakyat kecil. Kita tidak akan menjumpai romantisme, estetika dan etika dalam setiap puisinya. Melainkan berbicara soal kemiskinan,  kehidupan rakyat jelata, nasib buruh dan  permasalahan akar rumput lainnya.  Seperti  pada bait-bait puisi “Nyayian akar rumpu”. //Jalan raya dilebarkan/kami terusir/mendirikan kampung/digusur/kami pindah-pindah/menempel di tembok-tembok/dicabut/terbuang/kami rumput/butuh tanah/dengar!/ayo gabung ke kami/biar jadi mimpi buruk presiden!//

Pilihan kata-kata (diksi) dalam karya-karya Tukul sederhana dan mudah dipahami namun sarat makna dan menendang jiwa. Aku sayu-sayup mengenal nama Tukul saat musim demo mahasiswa pada 1998. Semakin mengenal karyanya lewat seorang teman seniman teater Medan, Agus Susilo pada tahun 2000.  Masih lekat pada memori, saat itu aku dan agus sehabis sholat Ashar di teras mushola Taman Budaya Medan, ngobrol soal buku yang lagi dipegangnya. Agus meyakinkan. “ Syair-syair Wiji Thukul sangat bernas. Ia berani menyuarakan kemiskinan dengan jujur. Menyatakan perlawanan dengan bahasa sederhana.” Sejak saat itu, aku pun memburu karya-karya Wiji Tukul.

Saat ada kabar, film Wiji Tukul akan tayang, yang mengambil judul dari salah satu puisinya “Istirahatlah KataKata”, aku senang bukan kepalang. Sudah terbayang akan nobar bersama keluarga kecilku dan kawan-kawan terutama kawan seniman termasuk Agus Susilo yang kurasa punya semangat perjuangan mirip Tukul dalam berkarya. Sehari sebelum tayang perdana pada 19 Januari kemarin, aku cari informasi penayangan di Medan. Ternyata hanya tayang di satu-satunya tempat, CGB Blitz Focal Point Medan . Dimana itu? Aku pun tak tahu sebelumnya. Setelah google. Aku sangat kecewa. Bisa dibayangkan, itu tempat elit bagi kaum borjuis meluangkan banyak waktunya. Jauh dari bayanganku nobar ala layar tancap di sebuah tempat publik.

Rasanya tempat itu terlalu jauh dari jangkauan gaya hidupku. Akan sangat kaku rasanya melangkah ke sana dengan dua orang anak dan suami serta teman-teman yang kami terbiasa mangkal di bawah rindangnya pohon. Terus terang, terasa sangata kecewa di batinku. Bagaimana mungkin, kisah hidup seorang proletrat dengan semangat perjuangan melawan ketertindasan roda kapitalis, para penguasa tiran lewat kata-katanya justru tidak bisa ditonton oleh kaum miskin seperti saya dan kawan-kawan? Padahal kamilah yang sangat akrab dengan setiap bait-bait puisi yang dikobarkan Tukul. Kamilah yang sangat mengenal kehidupan yang digambarkan Wiji Thukul. Kamilah orang-orang yang ada dalam setiap larik puisi Wiji Tukul. Tapi ketika Wiji Tukul pun sudah dikemas dalam bentuk produk komersi kapitalis, kami tidak lagi bisa menjangkaunya.

Aku terpaksa merelakan tidak bisa menonton film yang katanya mengisahkan kehidupan dan semangat juang Wiji Tukul lewat kata-kata dalam puisinya. Namun tak apalah. Kalau pun aku dan kawan lainnya tidak bisa menikmati film yang menggambarkan sosok melegenda dikalangan seniman Indonesia, setidaknya... aku berharap keluarga Tukul terutama Sipon istrinya, Nganti putrinya, serta Fajar Merah putranya dapat menikmati komersialisasi dari sosok yang mereka cintai.

Masih ingat aku, cuitan Fajar Merah yang ramai di jagat maya. @FajarMerah_: Ibuku membunuh Bapakku agar bisa dapat pinjaman dari Bank untuk modal usaha// @FajarMerah_: Ibukku sedang mengurus surat kematian Bapakku. Padahal Bapakku entah hidup/mati //@FajarMerah_: Karena status "Dihilangkan Negara" tidak membantu cairnya dana pinjaman.

Kehidupan Sipon kelihatannya saat itu masih morat-marit terlilit kesulitan hidup. Semoga Sipon, Nganti dan Fajar Merah tidak dilupakan dengan keberhasilan film yang katanya telah melalang buana pada berbagai festival film dunia   diantaranya Hamburg, Nantes,   Locarno, Vladivostok dan Manila sebelum kembang di layar negeri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun