Pada era 1990-an sejumlah anak muda berlomba-lomba memakai baju dengan lambang wajah bermuka bulat dengan mata bergaris silang dan senyum menjulur kebawah dengan warna dasar kuning dengan tulisan Nirvana.
Saya mendengar lagu “Smeells like teen Spirit,” dalam album Nevermind (1991) dibunyikan dengan semergap di berbagai lapangan outdoor. Sejumlah anak muda mendengarkan lagu tersebut sambil bermain skateboard ataupun bermain olahraga basket sambil menirukan gaya Michael Jordan.
Namun eforia itu berhenti sesaat setelah sang vokalis, Kurt Cobain, menyudahi dirinya dengan sebutir peluru dikepala di suatu tempat yang misterius. Dia frustasi dalam menghadapi dunia yang semestinya dinikmati para bintang rock pada zamannya. Dia bisa memakai Jet pribadi dan berlibur ke berbagai tempat eksotik di dunia dengan pelayanan kelas satu untuk melarikan diri dari masalah. Namun dia menolaknya dan memilih berkawan dengan heroin. Dia mengalami hal yang dialami sejumlah musisi Rock hebat seperti Jimi Hendrix dan Jim Marrison.
Hanya saja, narkoba saja tidak cukup. Saya menduga frontman Nirvana ini merasa frustasi dengan kemapanan dan popularitas. Hal ini bisa dilihat dari ulah Kurt yang mau membuat judul album terakhirnya berjudul “I Hate My Self” and “I Want to Die” sebelum akhirnya menjadi “In Utero” (1998).
Ada perbedaan kelas ketika Nirvana meluncurkan album terlarisnya, Nevermind. Terutama terkait peningkatan popularitas dan kemampuanya menandingi band Glam Rock pada masa itu seperti Bon Jovi, Aerosmith ataupun Gun N Roses. Nirvana berhasil menciptakan basis pendukungnya sendiri dan bukan hanya sebuah band underdog dari Seatle semata yang merilis album indie “Bleach”pada 1989.
Padahal Nirvana tidak merasa superstar. Kurt Cobain tanpa segan mempromosikan band underground dalam beberapa konser dengan mengajak band beraliran feminis, Bikini Kill dan secara terang-terangan memuji beberapa band pada masanya seperti The Breeders, the Pixies, R.E.M., Jesus Lizard, Urge Overkill, Beat Happening, Mudhoney, dan Sonic Youth. Dia hanya terlibat percikan kecil dengan Pearl Jam yang waktu itu menjadi pesaing ketatnya.
Beberapa lagunya mengandalkan semangat melawan keserakahan yang dialami dunia melalui “The Man Who Sell The World” (2009) dan “Rape Me,” (1993). Kedua lagu yang bercerita mengenai kerakusan seorang pebisnis dan kisah tentang maraknya pemerkosaan terhadap wanita.
Berbicara mengenai keserakahan kita tidak akan lupa tempat Nirvana dengan aliran musik Grunge dilahirkan di Seatle, sebuah kota kecil yang kerap melawan kemapanan negara barat. Kita mengingat tragedi “The Battle in Seatle” pada 29 November 1999 untuk melawan kedigdayaan World Trade Organization (WTO). Gerakan tersebut berhasil menyatukan sekelompok gerakan masyarakat sipil dalam melawan kekuatan global meskipun gagal memberikan perubahan karena perdagangan bebas tidak pernah bisa menaikan derajat negara dunia ketiga untuk melawan kapitalisme barat.
Jackie Smith peneliti New York University menuturkan jika gerakan protest ini tidak menghasilkan hal konkrit. Para Organisasi tersebut gagal memberikan pesan terhadap WTO, apakah WTO harus dibubarkan atau direformasi. Jika memang butuh reformasi bagaimana caranya ? Gerakan ini dinilai gagal menghasilkan perubahan di WTO, meskipun gerakan ini dihuni berbagai kelompok organisasi masa seperti kalangan feminis, gerakan pecinta lingkungan, kaum buruh, kaum gereja dan bahkan para kalangan profesional yang bersatu padu yang menyerukan keadilan dalam perdagangan dunia.
Ini seperti dalam sebuah kompetisi olahraga dimana si kecil melawan si kuat. Sejarah olahraga di Seatle juga menunjukan hal itu. Seattle hanya kota kecil di AS yang pernah memiliki klub bernama Seatle Supersonic pada era 90-an. Meskipun dihuni para pemain hebat seperti Shawn Kemp dan Gary Payton, klub ini selalu kalah melawan dominasi Chicago Bulls yang dikomandoi superstar dan brand atlet olahraga basket paling terkenal pada zamannya yaitu Michael Jordan.
Hal yang agak berbeda tejadi pada musik. Apalagi dengan sikap Nirvana dan berbagai band Grunge lainnya yang konsisten dalam menyuarakan kritik sosial. Ada empat Band Grunge berpengaruh di Seattle yaitu Alice in Chains, Nirvana, Soundergrand, dan Pearl jam. Nirvana lebih komplit karena menulis persoalan sosial, alienasi dan permasalahan ketamakan manusia. Hal ini berbeda dengan Pearl Jam yang agak malu-malu dalam melakukan kritik sosial. Keduanya tidak bisa disamakan dengan Alice In Chains dan Soundgreand yang tidak memiliki basis penggemar seperti mereka.
Setelah Nirvana bubar warisan kritik ini diteruskan Foo Fighters. Foo yang dikomandoi mantan drumer Nirvana, Dave Grohl memberikan dukungan politik kepada Obama melalui lagu “My Hero” pada saat kampanye Obama. Partai Demokrat merupakan partai yang memiliki program jaminan sosial kepada masyarakat miskin AS pada waktu itu.
Mantan Basis Nirvana, Novoselic, semakin aktif dalam kegiatan sosial dan politik. Dia membuat buku panduan Grunge dalam sistem demokrasi di AS dengan Grunge and Government: Let’s Fix This Broken Democracy, (2004). Dia juga menjadi ketua FairVote sebuah lembaga non profit untuk mengedukasi masyarakat dalam mengaspirasikan pendapatnya dalam sistem demokrasi yang terbatas.
Pesaing terdekat Nirvana, Pearl Jam masih menyanyikan lagu bertema sosial secara halus dan menyentuh mengenai tragedi kecelakaan sembilan fansnya dalam festival Roskilde dan tragedi 9 September 2001 melalui “Thumbing My Way” (2002). Eddie Veder sang frontman baru berani menyuarakan suara politiknya ketika menyanyikan lagu “Imagine” milik John Lenon dalam sebuah acara amal.
Grunge sebagai sebuah identitas musik telah bermetaformosis sebagai sebuah gerakan masyarakat untuk melawan kemapanan struktur sosial dan berbagai persoalan global. Jonathan Poneman, pengamat pop culture, menuturkan gerakan anti fashion grunge dengan baju flanel kotak-kotak berusaha melawan kemapanan gaya glamor selebritis pada era 80-an yang terbukti masih berjaya sampai sekarang
Lalu bagaimana dengan kita ? Kita memiliki Slank ataupun Band lain yang memiliki gerakan melawan kemapanan namun tidak memiliki basis perlawanan secara masif.
Slank dengan berani melawan SBY dalam beberapa konser, akibatnya adalah dia diberedel dimana-mana. Setelah SBY melarang, lalu apa yang bisa dilakukan Slank ? lalu bagaimana dengan isu lingkungan yang dikeluarkan Band Efek Rumah Kaca ? Gerakan itu tidak berlangsung masif karena kesadaran masyarakat mengenai emisi sangat sulit dipisahkan dari keinginan untuk mengkonsumsi.
Pada awal kejatuhan Orde Baru, peran Ormas seperti dikatakan akademisi Swedia, Andreas Uhlin, masih berkutat kepada persoalan melawan sebuah rezim politik dan kepentingan didalamnya. Kita belum pernah menyentuh bertindak secara masif untuk peduli terhadap berbagai persoalan sensitif seperti kemiskinan kota dan ketimpangan pendapatan. Perlawanan industri fashion lokal masih dikampanyekan oleh pelaku industri bukan pemakai. Itu akibatnya industri lokal kalah bersaing di level domestik.
Kita bisa memakai baju Slank, sendal jepit atau sepatu converse sebagai simbol untuk melawan kemapanan. Namun jika kita tidak memulai untuk sensitif terhadap isu kedaulatan nasional kita hanya hanyut dalam kemeriahan demokrasi. Perjuangan hanya sebagai simbol, bukan makna filosofis. Mungkin kita bisa belajar dari warisan tersembunyi kebudayaan Grunge yang pernah memasang bendera setengah tiang setelah kematian Kurt Cobain dan bubarnya Nirvana dan kembali dirayakan dengan film dokumenter Kurt Cobain: Montage of Heck (2014).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H