[caption id="attachment_400040" align="aligncenter" width="300" caption="u2"][/caption]
Sebuah ledakan kosmos menyatukan partikel-partikel yang saling bersepihan. Lalu, keduanya menyatu dalam sebuah kilatan waktu yang saling bertautan. Beruntungnya, hal ini bukan hanya terdapat dalam kisah novel karya Dee bertajuk Supernova, yang difilmkan oleh Rizal Mantovani (2014) semata.
Karena semuanya bisa terjadi dimanapun dan kapanpun. Sebuah gerakan, apapun namanya, bisa tumbuh dalam anarkisme dan pertentangan melawan zaman yang berlangsung secara kontinyu.
Mungkin inilah yang coba dilakukan U2. U2 sebagai sebuah band yang menjual ratusan juta album di seluruh dunia dan mencatatkannya sebagai musisi sepanjang masa yang menerbitkan album dalam jumlah terbanyak. Seperti yang diulas tabloid kenamaan asal inggris yaitu Rolling Stone.
Bukan band yang berdiri dalam batas kemapanan melainkan menegakan kakinya dengan totalitas empat orang yang memiliki hasrat yang besar dalam dunia yang keras ini. Keempat orang yang terdiri dari Adam, Bono, Larry, dan Edge memulai debutnya di dapur rekaman di Dublin tanpa mengetahui cara bermain musik dengan cara yang benar.
“Music was more about energy and trying to say something and not necessarily about great musicianship.’’ ujar Bono.
Bahkan Bono menuturkan bahwa U2 sebagai tempat bermain empat anak muda tersebut sebelum mereka mahir. “A band before we could play”, ujar Bono dalam dalam beberapa wawancara.
Rupanya Paul McGuinnes, sang manager, tidak percuma mempertemukan U2 dengan label Island Record pada 1979. Pada 1983, U2 mengeluarkan album War yang diproduksi Steve Lillywhite, yang banyak menarik perhatian musisi.
JD Considine, kolumnis Rolling Stone, menggambarkan bahwa melalui War, U2 memulai perspektif baru dalam gaya bermusiknya yang impresif sebagai pendatang baru pada waktu itu, mereka bahkan mencoba bermain musik dalam persoalan isu sensitif seperti politik.
“Sundy Bloody Sunday” lagu pembuka dalam lagu War langsung menghentak dengan liriknya yang mengkritik tentara inggris yang membunuh 13 penduduk dalam sebuah aksi demonstrasi Hak Asasi Manusia (HAM) di London.
Bono berusaha menyindir perilaku brutal mereka dengan cara yang halus.