[caption id="attachment_89413" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi-Upacara Rambu Solo Tana Toraja/Admin (travel.detik.com)"][/caption]
Dunia sudah mengetahui dan mengenal akan keindahan budaya dan tradisi masyarakat Tana toraja. Dari sekian banyaknya budaya dan tradisi yang dimiliki, yang paling banyak diekspos adalah Rambu solo’ atau yang disebut dengan upacara kematian. Rambu solo’ adalah upacara besar-besaran yang sering diadakan oleh masyarakat Toraja, sehingga tidak heran jika dari semua acara baik itu acara perkawinan maupun acara syukuran, upacara rambu solo’ menduduki urutan pertama. Masyarakat Tana Toraja bahkan tidak segan-segan untuk mengeluarkan uang ratusan juta hingga milyaran rupiah.
Oleh karena itu, upacara rambu solo’ adalah upacara yang sering dicari-cari oleh wisatawan dari luar. Tetapi tahukah kalian apa yang terjadi di balik upacara adat itu?
Ada keluarga kelihatan sangat sederhana, hidup pas-pasan mempunyai empat anak. Bisa menyediakan puluhan babi dan 3 sampai 5 kerbau dalam setiap upacara rambu solo’. Sekedar tahu saja, harga seekor babi diatas dua jutaan dan harga seekor kerbau diatas 10 juta. Belum lagi dengan kerbu belang (Tedong bonga)
Namun, Apakah ada dampak yang dirasakan dari pihak keluarga itu sendiri? Kalau kita menyusuri beberapa keluarga yang masih sangat kuat dengan adat istiadanya, dampak negatifnya lebih banyak dari yang positif.
Orang tua cenderung untuk mempertahankan status sosialnya dalam masyarakat, sehingga yang menjadi tujuan mereka adalah upacara adat dan cenderung mngesampingkan pendidikan dan masa depan anak-anaknya. Sehingga tidak heran jika orang tua yang demikian, akan selalu mengeluh bahkan menolak untuk membayar uang sekolah, giliran pengadaan dana untuk upacara adat, orang tua selalu siap. Jadi upacara rambu solo’ menjadi prioritas pertama dibandingkan pendidikan anak, lifestyle dan property.
Namun bagaimanakah seharusnya menyikapi hal tersebut?
Orang tua kadang tidak realistis dalam memandang/menargetkan suatu upacara adat, mereka mengeluarkan banyak uang padahal mereka sebenarnya tidak mempunyai sebanyak itu. Sehingga yang terjadi adalah utang sana-sini. Adanya pola pikir yang demikian tentu akan menghambat untuk tidak melakukan hal yang benar dan realistis.
Budaya memang sangat penting, akan tetapi jangan sampai budaya itu menjerumuskan orangnya sendiri, ya kembali lagi harus mengutamakan kebenaran dan realistis. Saya memberi sesuai dengan kemampuan saya.
God bless Toraja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H