Istilah gagal ginjal sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Hal ini muncul saat publik dihebohkan dengan Peningkatan pada Kasus Gagal Ginjal Akut Progresif  Atipikal (GGAPA) Anak yang menyebabkan kematian beberapa bulan yang lalu. Sebenarnya, gagal ginjal ini sudah terdeteksi sejak Januari 2022, namun baru mengalami peningkatan signifikan di Indonesia pada bulan Agustus 2022. Per tanggal 6 November didapatkan 324 kasus, dengan 27 kasus perawatan, 195 meninggal dan 102 kasus sembuh.
Secara umum, gagal ginjal dapat didefinisikan dengan adanya penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan penurunan jumlah buang air kecil dalam 6 jam terakhir serta dan atau adanya perubahan dalam pemeriksaan penunjang. Gagal ginjal lebih umum mengenai pasien dewasa hingga lanjut usia, dibandingkan pada anak-anak. Hal ini dikaitkan dengan penyebab dasarnya yang sering kali berkaitan dengan pola makan, gaya hidup yang tidak sehat, adanya penyakit lain yang menyertai, pertambahan usia hingga menyebabkan penurunan fungsi organ-organ vital tubuh salah satunya ginjal.
Terjadinya gagal ginjal akut disebabkan oleh multifaktorial. Hal ini berkaitan dengan fungsi ginjal itu sendiri, seperti menjaga keseimbangan cairan, menyaring darah dari toksin, mengatur tekanan darah dll. Ginjal tidak berdiri sendiri untuk melakukan fungsinya, oleh karena itu disaat ginjal sudah mengalami penurunan fungsi, tidak menutup kemungkinan beberapa organ lain juga sudah mengalami penurunan fungsi.Â
Jenis gagal ginjal akut dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya yaitu prerenal (sebelum ginjal) seperti dehidrasi, perdarahan hebat, ; renal ( ginjal) seperti infeksi pada glomerulus, nefrotoksik akibat bahan kimia; dan post renal ( setelah ginjal) seperti pembesaran prostat, batu pada kantong kemih. Sehingga dalam prosesnya sering kali membutuhkan waktu yang lama hingga menyebabkan kerusakan ginjal.
Pada tanggal 18 Oktober 2022, Juru bicara Kemenkes menyatakan bahwa GGAPA tidak ada kaitannya dengan vaksin Covid-19 maupun infeksi Covid-19.Kemenkes segera melakukan pemeriksaan untuk mencari tahu penyebab terjadinya kasus GGAPA. Dalam prosesnya, tidak ditemukan adanya hubungan kasus GGAPA dengan infeksi patogen seperti virus, bakteri, parasit.
Langkah berikutnya, dilakukan pemeriksaan toksikologi pada obat yang dikonsumsi oleh pasien, dan ditemukan jejak senyawa yang berpotensi menyebabkan gagal ginjal. Senyawa ini ialah etilena glikol (EG), dietilena glikol (DEG), dan etilena glikol butil ether (EGBE) dengan kadar yang melebihi batas toleransi oleh tubuh. Hal ini juga didukung oleh hasil biopsi yang mengkonfirmasi kerusakan ginjal pada anak akibat paparan tersebut.
Peristiwa serupa juga pernah terjadi di India dan Gambia. Yang mana ditemukan kandungan DEG pada obat batuk anak, sehingga menyebabkan kasus kematian pada anak.
Angka kejadian dan angka kematian anak akibat GGAPA mengalami penurunan sejak dikeluarkannya Surat Edaran penghentian obat sirop dan obat cair tertentu yang mengandung bahan toksik tersebut, serta pemberian antidotum Fomepizole sebagai terapi/ pengobatan pada pasien.
Melalui insiden ini kita dapat terus diingatkan untuk selalu berhati-hati dalam mengkonsumsi obat-obatan, dianjurkan untuk dikonsulkan terlebih dahulu kepada tenaga kesehatan.
Meskipun ada hal-hal yang sudah terbiasa dikerjakan, tidak ada salahnya untuk selalu melakukan pengecekan ulang dan tidak henti-hentinya mengupdate ilmu.
Semoga bermanfaat.