Mohon tunggu...
sastuki borunababan
sastuki borunababan Mohon Tunggu... -

Lahir dan besar di Palembang. Lulusan Poltekkes Kemenkes Palembang jurusan Gizi dan sedang melanjutkan studi di Fakultas Ekologi Manusia IPB jurusan Ilmu Gizi. Senang menulis dan menggambar dan tak pernah menyerah meski pernah ditolak oleh penerbit (^^). "Saya memegang mimpi sebesar dunia dan selalu belajar memaknai hidup".

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Silent Love Song

14 Februari 2011   05:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:37 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hari ini, kulepaskan kau dari hatiku. Begitu dalam ia terpatri dalam hatiku, namun perlahan semua ikatan itu lenyap, bahkan semua sisa harapan padanya sudah terlepas, menguap entah kemana.. *** Selalu tercium aroma cokelat karamel saat mengingatnya. Mungkin karena pengaruh suasana lembut Februari waktu itu, saat aku mengenalnya, seorang yang baru dalam hidupku. Hanya berawal dari sebuah kejadian kecil, aku menangkap sinar yang indah dari dalam bola matanya. Tak ada percakapan hari itu dan juga beberapa minggu sesudahnya. Hanya senyum kecil yang kuanggap basa-basi. Tiap pekan kami bertemu, bukan untuk saling bertemu. Tempat itu yang mempertemukan kami dan teman-temanku yang menghubungkan pertemuan itu. Hanya itu. Lalu namanya muncul di daftar permintaan pertemanan situs jejaring sosialku. Sebenarnya sudah lama aku tahu keberadaannya di situs itu, namun entah kenapa aku tak mau menjadi orang yang memulai. Aku membiarkan perasaanku bermain dan jadilah demikian. Ia yang pertama menyapaku di situs itu. Obrolan demi obrolan mengalir, seakan-akan kami adalah sahabat lama yang bertemu kembali. Ia ingat hari kelulusanku, ia tahu warna kesukaanku, lalu sepanjang hari aku bisa tersenyum. Aku tak tahu, atau lebih tepatnya, tak mau mengetahui rasa apa itu. Lagi-lagi kubiarkan perasaanku bermain-main sejenak. Aku memang orang yang tak pandai bicara. Namun sangatlah aneh kurasa ketika aku tak bisa berkata-kata saat bertemu dengannya. Ia pun tidak. Kami berdua seperti orang bisu yang tak bisa berbahasa isyarat. Dua sahabat bisu itu pun bertemu kembali di dunia maya dan bercengkrama layaknya tak bersua sekian lama. Ia selalu tahu status terbaruku, demikian sebaliknya. Ia selalu menyemangatiku, membuatku tertawa. Akalku mulai mengambil tempat mendahului perasaanku yang munafik. Ia berkata, apa mungkin ini cinta? Perasaanku yang munafik menggeleng. Akalku menyuruhku menatap foto orang itu. Tidak, dia bukan tipe kesukaanku. Lagi-lagi perasaanku yang munafik menggeleng. Semakin mengenalnya aku semakin tahu kepribadiannya. Ia begitu berbeda denganku. Ia begitu berkharisma. Ia memiliki banyak penggemar wanita yang setia mengikutinya di situs itu. Tak apa, karena menurut pengintaianku, terlihat perbedaan perhatiannya padaku lebih besar daripada kepada para penggemarnya itu. Tunggu dulu, ‘penggemar’? Aku bukan salah satunya, bentak perasaanku yang munafik itu. Akalku setuju. Terlalu gegabah mengambil keputusan. Perasaan seseorang tak bisa diukur hanya dari sebuah halaman profil situs jejaring sosial. Aku manut saja. Tapi hati kecilku –bagian lain lagi dari diriku- bisa melihatnya. Aku merasakannya, mata orang itu, matanya saat menatapku, gestur tubuhnya saat di dekatku. Selalu terasa aura lembut saat dia di dekatku, ia selalu bisa membuatku nyaman. Lagi-lagi akalku berkata, ‘terlalu berbesar hati!’ Aku mulai merasa nyaman dengan kedekatan kami walau banyak yang mempertanyakan kedekatanku dengannya yang samar di dunia maya, sampai hal itu terjadi. Aku harus pergi, meninggalkan tempat ternyamanku di sini.  Sejak itu ia perlahan menghilang dari duniaku. Ia mengacuhkanku. Hanya ada beberapa sapaan basa-basi saat berjumpa dengan sosok aslinya. Aku megharapkan responnya, tapi nihil. Sekarang egoku yang bicara. Terlalu tinggi untuk menjatuhkan harga diri jika bertanya perihal sikapnya padaku. Itu tidak mungkin! Sampai beberapa saat sebelum aku pergi, ia masih bergeming. Hanya, aku menangkap matanya, saat tak sengaja kutahu ia mencuri pandang padaku. Masih sama seperti dulu, ada cahaya di balik korneanya untukku. Ingin kukerahkan segenap keberanianku menyapanya, namun nihil. Menggubrisku pun tidak. Ia terlihat lebih tertarik menyapa teman-temanku yang lain, kecuali aku. Kenapa? Aku marah. Aku kecewa. Aku cemburu. Aku pun pergi, meninggakan hatiku bersamanya. Ya, kuakui itu. Akhirnya hatiku yang munafik tak bisa mengelak ketika butir-butir air mata itu jatuh saat memikirkannya. Kenapa ia tak mau berbicara denganku? Tak mau menyapaku? Aku bingung, tapi aku rindu, rindu padanya. Akalku mulai menganalisa, benarkah selama ini aku salah menilai sikapnya? Tapi, apa maksud di balik tatapannya? Apa hatiku kecilku salah? Aku tak mengerti. Mungkin akalku benar, aku terlalu berbesar hati.. Malam ini aku sendiri ditelan kepekatan malam, melarutkan semua kegundahan dalam alunan lagu-lagu melankolis. Menyedihkan. Aku baru merasakannya, cinta dalam diam, cinta yang lembut. Namun tak seperti yang kuharapkan, cinta itu berasa asam. Kalau bisa tak mau kusebut ‘cinta’. Lupakan saja, menyerah saja. Malam ini, kulepaskan kau dari hatiku. Kulihat namanya di layar memudar, lalu menghilang, berganti air mataku. *** writted by Satsuki Borunababan Cerpen ini diikutkan dalam Lomba KKDH dan masuk jadi Finalis ^^,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun