Mohon tunggu...
sastuki borunababan
sastuki borunababan Mohon Tunggu... -

Lahir dan besar di Palembang. Lulusan Poltekkes Kemenkes Palembang jurusan Gizi dan sedang melanjutkan studi di Fakultas Ekologi Manusia IPB jurusan Ilmu Gizi. Senang menulis dan menggambar dan tak pernah menyerah meski pernah ditolak oleh penerbit (^^). "Saya memegang mimpi sebesar dunia dan selalu belajar memaknai hidup".

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Sedikit Info Mengenai Indeks Glikemik Pangan - Trend Low GI Bagi Diabetesi dan Obesitas

24 Oktober 2010   10:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:09 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Glycemic Index (GI) atau indeks glikemik (IG) pangan adalah rangking pangan (1-100) menurut efeknya (immediate effect) terhadap kadar gula darah. Sebagai perbandingan, IG glukosa murni adalah 100 (Rimbawan & Siagian, 2004). Indeks glikemik merupakan pengertian atau istilah yang relatif baru dalam bidang pangan, berkaitan erat dengan metabolisme karbohidrat. GI disusun untuk semua orang; orang sehat, penderita diabetes, atlet, dan penderita obesitas (kelebihan bobot badan). IG memberikan kita ‘cerita yang benar’ mengenai karbohidrat dan rendah kaitannya dengan kadar gula darah. Menurut Miller (1996) berdasarkan respon glikemiknya, pangan dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu pangan ber-IGrendah (IG <55), IG sedang (IG: 55-70) dan IG tinggi (IG>70). Makanan yang memiliki GI yang rendah membantu orang untuk mengendalikan rasa lapar, nafsu makan, dan kadar gula darahnya.

Konsep Indeks Glikemik

Sejak dikenalkan pada tahun 1981 oleh dr. David Jankins, konsep indeks glikemik (IG) pangan telah meramaikan pendekatan ilmiah untuk pengaturan diet bagi penderita diabetes, penderita obesitas, dan olahragawan. Telah banyak bukti ilmiah yang mendukung peran IG tersebut. Namun, tidak sedikit juga hasil penelitian yang mendebatnya.

Pada awalnya, ada beberapa kritik terhadap konsep ini karena belum ada bukti bahwa IG untuk pangan tunggal dapat juga diterapkan terhadap makanan sebenarnya (menu sebenarnya) yang terdiri dari campuran pangan. Para kritikus juga mempertanyakan manfaat jangka panjang dari pengelompokan tersebut. Tetapi,sekarang, dengan telah diketahuinya IG untuk lebih dari 600 jenis pangan, nilai dan manfaat IG mulai diperhitungkan.

Berbagai studi telah membuktikan peran pendekatan IG pangan padapengendalian kadar glukosa postprandial (Järvi et al., 1999 dalam Rimbawan et al., 2006). Akan tetapi, belum diperoleh bukti apakah mengonsumsi pangan yang memiliki IG rendah pada pagi hari akan berdampak baik pada respon glukosa darah pada siang hari atau malam harinya. Atau, sebaliknya apakah mengonsumsi pangan ber-IG tinggi pagi hari akan mengakibatkan respon glukosa darah meningkat sepanjang hari.

Faktor-faktor yang mempengaruhi IG pangan:

Rimbawan dan Siagian (2004) menyatakan bahwa IG pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: cara pengolahan, daya osmotik pangan, kadar serat, amilosa, protein, lemak dan keberadaan zat antigizi.

Cara pengolahan. Misalnya pada proses pratanak beras yang diteliti oleh Widowati et al., (2009) ini merupakan proses yang unik, karena pengolahan dilakukan saat padi masih dalam bentuk gabah. Proses pratanak meliputi pemasakan butir padi atau beras kasar (rought) dengan air, diikuti dengan pengeringan kembali sampai kadar air 12% (Buckle, 2007). Dalam proses tersebut terjadi difusi dan pelekatan komponen-komponen dari bekatul maupun sekam yang dapat mengubah sifat fisikokimia dan fungsional beras. Sedangkan penanakan beras menjadi nasi yang dilakukan masyarakat secara umum, menggunakan beras giling yaitu gabah yang telah dihilangkan sekam dan bekatulnya, sehingga tidak mengubah sifat fisikokimia dan IG nasi yang dihasilkan. Informasi ini perlu dijelaskan agar pengguna teknologi dan masyarakat umum faham akan perbedaan proses pratanak dengan proses penanakan nasi yang biasa dilakukan di rumah tangga.

Perbandingan amilosa dengan amilopektin.Sebagian besar ilmuwan berpendapat bahwa amilosa dicerna lebih lambat dibandingkan dengan amilopektin (Miller et al., 1992; Foster-Powell et al. 2002; Behall dan Hallfrisch, 2002 dalam Widowati et al.2009), karena amilosa merupakan polimer dari gula sederhana dengan rantai lurus, tidak bercabang. Rantai yang lurus ini menyusun ikatan amilosa yang solid sehingga tidak mudah tergelatinasi. Oleh karena itu amilosa lebih sulit dicerna dibandingkan dengan amilopektin yang merupakan polimer gula sederhana, bercabang dan mempunyai struktur terbuka. Berdasarkan karakteristik tersebut maka pangan yang mengandung amilosa tinggi cenderung memiliki aktivitas hipoglikemik lebih tinggi dibandingkan dengan pangan yang mengandung amilopektin tinggi (Miller et al., 1992; Foster-Powell et al. 2002; Behall dan Hallfrisch, 2002 dalam Widowati et al.2009).

Kadar serat. Jenkins et al., (2002) dalam Widowati et al., (2009). menyebutkan bahwa konsep IG sebenarnya merupakan pengembangan dari hipotesis serat pangan, yang menyatakan bahwa konsumsi serat pangan akan menurunkan laju masukan nutrien dari usus. Serat pangan mempengaruhi asimilasi glukosa dan mereduksi kolesterol darah. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa serat tanaman tertentu menghambat penyerapan karbohidrat dan menghasilkan postprandial glikemik yang rendah.

Melalui penjelasan di atas, maka dalam penggunaan konsep GI perlu juga ditinjau beberapa aspek lainnya. Mengkonsumsi pangan/makanan dengan IG rendah tak akan berpengaruh banyak jika dikonsumsi dalam jumlah banyak. Selain itu dalam 1 jenis pangan dapat memiliki IG berbedaHal ini  dapat disebabkan oleh perbedaan varietasnya,misalnya beberapa jenis beras yang kadar amilosanya rendah justru IGnya tinggi. Kandungan seratnya maupun cara pengolahannya juga perlu diperhatikan. Beberapa nilai IG dapat dilihat pada buku-buku IG maupun situs http://www.glycemicindex.com (kebanyakan pangan luar). Misalnya roti putih memiliki IG 100, Beras 50-90, jagung 40-60, dll. Untuk Anda para diabetesi ataupun yang ingin mengurangi berat badan dapat menggunakan konsep ini dengan jeli dan benar sehingga diet Anda dapat berhasil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun