Mohon tunggu...
Somya Cantika Suri
Somya Cantika Suri Mohon Tunggu... -

Penyuka buku, musik, dan ketenangan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Seorang Penjual Kue

6 September 2014   18:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:27 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul Buku : MOZAIK KEHIDUPAN ORANG JAWA

WANITA DAN PRIA DALAM MASYARAKAT INDONESIA MODERN

Penulis       : Walter L. Williams

Penerbit: PT. PUSTAKA BINAMAN PRESSINDO, Jakarta 1995.

BAGIAN I

Jalan ke Masa Kini : Kehidupan Desa dan Pembangunan Kota

Artikel ke 9, Halaman 85

Seorang Penjual Kue

Di Indonesia kontemporer, seperti juga di beberapa Negara yang sedang berkembang lainnya, para ekonom dan perencana pemerintah terutama hanya memfokuskan usahanya pada penciptaan pekerjaan untuk golongan pria. Hasil kebijakannya sering mengabaikan pekerjaan untuk wanita. Asumsi yang mendasari beberapa program pembangunan dari Barat adalah anggapan bahwa wanita hanyalah seorang ibu rumah tangga. Pemaparan wanita ini, sesuai dengan yang dipaparkan wanita lain dalam kumpulan kisah ini, menunjukkan bahwa anggapan tersebut keliru. Diantara orang-orang Jawa, wanita selalu member kontribusi yang penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarga dengan bekerja di luar rumah. Peran ekonomi yang paling berarti bagi kebanyakan wanita desa adalah berjualan makanan di pasar. Dalam usaha mencari nafkah, para wanita petani berharap bahwa mereka akan menghasilkan uang untuk menambah pendapatan dari hasil kerjanya, daripada sekedar didukung oleh suami mereka. Tiga hal yang selalu dilakukan oleh wanita Jawa non-elit adalah menikah, menjadi ibu, dan bekerja.

Wanita ini diwawancarai dirumahnya yang berdinding bambu, di akhir suatu hari yang panjang. Dia jelas kelelahan meskipun dengan sabar menjawab pertanyaan yang diberikan oleh Robertus Widjoyo (pria berusia 33 tahun) dan Walter L Williams. Dia tidak memiliki harapan bahwa masa depannya akan berbeda dari masa lampaunya. Bagi mereka yang berada di kelas bawah, sedikit sekali harapannya dalam hal perbaikan ekonomi.

SAYA TIDAK TAHU persis berapa usia saya sekarang. Sejauh yang saya tahu, sekarang saya berusia lima puluh tahunan. Orang tua saya adalah seorang buruh tani yang miskin, bekerja mengolah tanah tetangga. Saya tidak sekolah karena saya adalah anak yang tertua dan harus membantu orangtua mencari nafkah dan merawat empat adik saya. Keadaan macam ini dialami juga dengan oleh anak tertua dari keluarga petani yang miskin lainnya.

Saya menikah pada tahun 1954, ketika berusia 18 tahun. Setahun kemudian saya melahirkan anak yang pertama. Anak saya yang tertua adalah lulusan SD. Dia tinggal di Klaten bersama suami dan tiga orang anaknya. Pada tahun 1962 saya melahirkan anak kedua. Dia juga lulusan sekolah dasar. Setelah lulus dari SD-nya dia mengikuti kursus menukang yang diselenggarakan oleh pemerintah di kota. Sekarang dia bekerja pada seorang kontraktor di Klaten. Dia menikah tiga bulan yang lalu. Anak lelaki saya yang paling muda sekarang berusia 15 tahun dan masih tetap tinggal di rumah bersama kami.

Suami saya beberapa tahun lebih tua dibandingkan saya. Dia berasal dari desa ini. Dia memiliki tanah warisan dari orang tuanya, tetapi tidak cukup untuk menghidupi kami. Oleh karena itu suami saya juga melakukan berbagai pekerjaan lain apapun yang bisa menghasilkan uang. Dia bekerja keras, meskipun demikian tidak menghasilkan uang yang cukup untuk menghidupi keluarga. Saya memutuskan untuk memasak kue dari beras dan jagung untuk dijual. Dulu beberapa orang wanita disini biasa menjual kue , tetapi sekarang tinggal kira-kira empat orang yang masih bertahan dalam usaha ini.

Saya meninggalkan rumah pada pukul 4:30 pagi dan kemudian berjalan sepuluh kilometer menuju Klaten. Tidak ada bus di jalan. Saya sampai kota pada pukul 6, kemudian mendatangi rumah ke rumah menawakan kue. Saya memelusuri beberapa rute setiap hari. Setiap wanita didesa ini yang menjalankan usaha ini memiliki wilayah dan pelanggannya sendiri. Kami telah sepakat untuk tidak memasuki wilayah orang lain. Pada pukul satu saya pergi ke pasar untuk membeli dua kilogram singkong, satu kilogram gula merah, dua kilogram jagung, tiga kilogram beras, dan dua butir kelapa. Saya membawa pulang barang belanjaan itu di gendongan dan tiba dirumah dua jam kemudian. Kemudian saya pergi ke sungai untuk mandi dan mencuci pakaian. Setelah itu saya memasak untuk keluarga, setelah memasak, mengupas singkong dan mempersiapkan segala sesuatu untuk usaha esoknya. Saya bekerja di dapur sampai pukul delapan malam, kemudian tidur.

Pada pukul 2 dini hari saya bangun dan melanjutkan bekerja sampai pukul 4. Saya harus bekerja di dapur 2 kali karena harus memasak nasi sebelum pergi, kalau tidak akan menjadi terlalu lembek kuenya. Saya juga harus memasak jagung dua kali, pada malam hari atau pada dini hari. Setelah menyelesaikan segala sesuatunya saya ke sungai dan mandi. Kemudian saya meninggalkan rumah berjalan ke kota menggendong keranjang bamboo yang penuh dengan kue di punggung. Saya telah menjalankan pekerjaan rutin ini selama 28 tahun.

Kalau saya pulang ke rumah setelah bekerja seharian saya membawa sekitar Rp. 5.500.Selama mingu kemarin dalam bulan ini orang kesulitan uang, usaha ini tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu saya memperbolehkan pelanggan untuk berhutang. Ini berarti saya membawa uang lebih sedikit. Usaha saya tidak berjalan dengan baik seperti sepuluh tahun yang lalu. Sekarang ada beratus-ratus pabrik yang membuat kue dengan warna-warni yang cantik dan kemasan yang menarik. Dengan banyaknya orang yang menganggur, dan munculnya usaha besar, sekarang segalanya harus bersaing. Saya beruntung karena bisa bertahan di usaha ini selama delapan tahun.

Waktu terus berlalu. Rambut wanita ini berubah putih. Dia Nampak lebih tua dibanding suaminya. Di masyarakat segalanya telah berubah, kecuali pekerjaan wanita ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun