Mohon tunggu...
Tomy Risqi
Tomy Risqi Mohon Tunggu... -

Tomy Risqi is employee of National Management Consultant of urban poverty program cq. National Community Empowerment Program, Jakarta Indonesia. I'm a postgraduated Law Department college. I have been staying in Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Metamorfosis Imperialisme

18 Agustus 2009   12:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:49 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

A. Kolaborasi yang Pro Pasar

Resistensi terhadap kapitalisme tidak lagi menjadi ideology populis dewasa ini. Mungkin udah ngga laku. Bangsa-bangsa yang militant memperjuangkannya juga telah berubah sikap. Keadaan ini membuka peluang bagi kapitalisme untuk kembali merajalela. Krisis Global yang berlangsung hampir setahun lewat ternyata tak juga menyadarkan kita untuk menyiapkan sector-sektor basic. Justru kolaborasi antara pemerintah dengan pasar semakin kuat. Penggusuran bahkan kian marak menjadi fenomena lazim kebijakan. Otonomi daerah yang terlalu kuat melegitimasi Pemda untuk berdiri independen, namun bukan untuk memakmurkan warganya. Gawatnya lagi, otonomi bahkan dimaknai berlawanan dengan pencapaian kesejahteraan.

B. Pasrah pada Modal Sosial

Apa sih yang sebenarnya dicari? Lalaikah Pemda sebagai entitas organic yang tak terpisahkan dari peran Negara yang tugas utamanya mewujudkan kemakmuran rakyat dan memberikan perlindungan social terhadap mereka. Basi kali ya diingetin terus. Oleh karenanya di tengah bersiap menuju kompetisi global tetaplah perhatikan perkembangan sektor informal. Jangan sekali-sekali melepaskan pengamanan jaring social mereka. Modal social yang digalakkan melalui berbagai program pembangunan masih dibutuhkan menjembatani peran pemerintah dan fungsi swasta. Tetapi bukan berarti pemerintah menyerahkan sepenuhnya pembangunan pada mekanisme modal social. Alih-alih mengadopsi kebijakan partisipatif, sebagian Pemda malah melenceng. Ingatlah bagaimana perda-perda di Jatim termasuk yang terbanyak dibatalkan oleh Dirjen Perimbangan Keuangan Depkeu (Viva News, 15 Desember 2008) akibat kontraproduktif terhadap iklim investasi.

C. Memerdekakan yang Kecil

Kepedulian terhadap yang kecilpun begitu terbatas. Kini, tidak peduli mana yang kecil dan mana yang besar semua dipersaingkan pada tantangan yang sama dalam arena yang sama. Isu dan kasus lamapun kembali menyeruak. Lihatlah pedagang kelontong yang menguasai pasar rumah tangga kini harus berhadapan dengan bisnis franchise mini market yang berfasilitas komplit dan berpendingin udara. Mereka berekspansi hingga jauh ke desa-desa. Indo, alfa, ceria dan mart-mart yang lain menjamur menggerogoti pasar dan pendapatan rakyat kecil. Pemerintah diam saja.

Resep sebagian kalangan yang pro globalisasi menyebutkan bahwa semakin terbuka sebuah Negara pada pasar, maka semakin besar kemungkinan Negara yang bersangkutan menggapai pertumbuhan (Ha Joon Chang, Ilene Grabel, Membongkar Mitos Neolib, Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan, 63, Insist Press Yogyakarta, 2004). Tapi Faktanya apa? Pertumbuhan tidak kunjung datang. Kalaupun datang hanya ditunjang dan dinikmati oleh sektor riil yang dikuasai konglomerasi chaebol (konglomerat). Masihkah hendak melestarikan trickle down effect? Jika tidak, percayakah anda jika pertumbuhan 4,4% yang dicapai bangsa ini setelah 64 tahun adalah hasil kerja keras dan dinikmati merata oleh semua pihak? Trus, si kecil-kecil yang informal itu, seberapa besar pergerakannya menopang? Agaknya kita butuh revolusi untuk memerdekakan mereka dari segala bentuk imperialisme (Tan Malaka, Aksi Massa, 2008) yang tak lelah bermetamorfosis dari jadul hingga sekarang.

D. Perang Ideologi di antara Tugas Hakiki

Di sisi ideologi, saat bangsa kita sibuk memperdebatkan neolib, Obama malah gemar menyuntikkan berbagai stimulus untuk memulihkan ekonomi negaranya. Nah US ternyata jauh lebih sosialis ketimbang kita. Peranan Negara begitu besar. Tanpa sengaja, perang ideology ini telah mengasah ketajaman salah satu ideology dan menumpulkan yang lain. Tarik ulur pro pasar dan pro poor soal biasa. Ah Sudahlah, bagi kita pragmatis saja, cukup legalkan kepemilikan para pengusaha sector informal. Legalkan tanahnya, tempat usahanya dan dekatkan dengan pasarnya (de Sotto, 2001). Itulah tugas hakiki kemerdekaan pengelolaan Pemda. Bukan justru menggusur usaha mereka, menggeser domisili mereka, menghabiskan APBD untuk belanja pegawai dan berlomba memproduksi Perda anti investasi. Selebihnya, jangan potong lagi produk petani dan nelayan dengan aneka retribusi. Produktifkan otonomi daerah menjadi kebijakan yang memerdekakan masyarakat dari derita kemiskinan. Good governance tidak pantas berhenti di ranah proses partisipatif via musrenbang, tapi buktikan pula partisipatif pada outputnya. Celakanya dibalik segala warna-warni kemeriahan, ternyata makna Kemerdekaan itu masih diliputi misteri (tom).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun