Penyakit Kronis Bangsa di Tengah Pesta Demokrasi
Pemilihan Presiden tinggal menunggu hitungan hari, dan hiruk pikuk para tim sukses koalisi makin memantapkan posisi dengan “memasang taji”. Tak ayal memang para tim sukses, pendukung bahkan simpatisan berlomba-lomba mengerahkan sekuat tenaga dalam upaya memenagkan calon yang didukungnya dengan berbagai cara dan beragam media yang makin marak di abad ini.
Dengan semakin banyaknya media informasi yang mudah diakses, nampaknya dimanfaatkan banyak orang untuk “mengkampanyekan” calon yang didukugnya, bahkan tidak jarang dari mereka juga memojokkan lawan politiknya dengan dalih kebebasan pers dsb seperti melalui facebook dan twitter. Memang dua media tersebut seolah menjadi media yang paling mudah diakses informasinya oleh semua orang. Dengan media-media social yang mudah diakses masyarakat tersebut, tentunya tidak hanya membawa dampak positif, melainkan dampak negative bagi masing-masing calon presiden, simpatisan, pendukung, bahkan untuk bangsa tercinta ini.
Namun sangat disayangkan, menurut penulis yang senantiasa mengikuti pemberitaan tentang hiruk pikuk Pilpres tahun ini, nampaknya masyarakat Indonesia tidak cukup cerdas memanfaatkan media-media sosial tersebut, yang ada malah adanya indikasi akan terjadi perpecahan jika tidak ditangani serius oleh semua pihak. Kita mungkin semua tahu, semenjak dideklarasikannya Calon Presiden dan Wakil Presiden beberapa bulan lalu, media mulai beramai-ramai mengankat berita tentang pilpres, mulai dari berita tentang prestasi, kekurangan, bahkan sampai privasi pasangan calon yang mengandung unsur sara.
Kita lihat saja misalnya berawal dari kasus tentang kekurangan masing-masing capres, hingga kemudian muncul isu-isu tentang privasi masing-masing capres yang belum terbukti kebenarannya, misalnya saja Prabowo diisukan sebagai orang yang paling bertanggungjawab terkait kasus penculikan aktifis 98, Jokowi diisukan dengan pemimpin yang tidak amanah sampai ke privasi Jokowi yang katanya keturunan Singapore, keturunan nasrani dsb, yang kesemua isu tersebut, baik tentang Prabowo ataupun Jokowi belum ada bukti valid tentang kebenaranya.
Berawal dari situlah kemudian muncul dan berkembang berbagai isu yang lebih menonjolkan pada pemojokkan dari masing-masing capres-cawapres, misalnya saja munculnya bulletin Obor Rakyatdi Jawa, buletin Martabat di Kaltim dsb melalui media social lainnya. Mulai dari hal inilah yang kemudian juga menyulut semangat para simpatisan untuk saling berkicau “memuji kawan dan memojokkan lawan” di berbagai media sosial sampai detik ini yang kian hari kian memanas dan dapat memicu perpecahan Bangsa Indonesia. Bayangkan saja di media hari ini paling sering muncul hanya berita tentang pertarungan yang saling memojokkan antara 2 kubu (Prabowo/Jokowi), yang pada akhirnya berkembang dan memunculkan isu-isu syara (seperti kasus sindiran fahri hamzah dan PDI-P yang dituduh mengusung eks PKI). Hal ini kemudian juga menyebabkan tergugahnya semangat para “korban” untuk melakukan pembelaan dengan jalan yang dipilihnya sendiri. Dan anehnya lagi kasus-kasus tersebut di atas selalu ada di setiap pesta demokrasi dalam bangsa ini. Pertarungan dan stigma “kawan lawan” seolah sudah menjadi penyakit kronis di tengah pesta demokrasi bangsa ini yang mengancam keutuhan NKRI.
Berdasarkan berita-berita yang ramai tentang pilpres baik di media cetak maupun elektronik, penulis dapat menyimpulkan bahwa Indonesia saat ini sedang menjadi panggung hiburan yang sangat menarik bagi Negara asing. Kenapa demikian, karena disadari atau tidak masyarakat Indonesia saat ini lebih memilih “jual beli” masalah yang belum jelas ujung pangkalnya, ketimbang sama-sama berpikir jernih untuk masa depan bangsa. Hal ini diperparah lagi olehmedia baik cetak maupun elektronik, seperti TV/koran yang sudah tidak objektif lagi dalam mewartakan berita dan lebih membesar-besarkan isu yang lagi hangat dan “lezat” untuk “disantap” oleh publik.
Hal ini juga akan menjadi kesenangan tersendiri bagi Negara asing, karena masyarakat Indonesia mudah digoyang persatuan dan kesatuannya hanya dengan persoalan beda pilihan. Bayangkan saja seandainya hal ini terjadi terus menerus tanpa adannya kesadaran masyarakat untuk saling menghargai perbedaan, maka dapat dipastikan Indonesia akan menjadi seperti semula, menjadi pulau-pulau kecil yang berantakan.
Kesadaran masyarakat harta paling berharga untuk menyelamatkan Indonesia
Pilpres memang momen yang menentukan masa depan bangsa, minimal lima tahun ke depan, namun proses menuju momen tersebut hendaknya perlu disadari bersama bahwa toh nantinya siapapun yang jadi itulah pilihan rakyat. Sehingga proses menuju pesta demokrasi Pilpres tidak diwarnai gejolak-gejolak yang mengancam keutuhan NKRI. Pilpres 2014 ini memang menjadi sejarah tersendiri yang sangat mahal harganya di era reformasi dan di tengah gencarnya demokratisasi bangsa. Di tengah maraknya isu-isu berbau sara yang muncul bertubi-tubi akhir ini, kesadaran masyarakatlah yang paling penting untuk menjadi perisai dalam mengantisipasi perpecahan. Masyarakat harus sadar betul bahwa Pilpres ini hanya ajang untuk memilih pemimpin dan bukan ajang untuk menjadikan “siapa kawan siapa lawan”. Stigma “kawan lawan” yang ada dalam masyarakat harus dihilangkan dengan mengedepankan kesadaran bersama bahwa beda pilihan tidak menjadikan perpecahan, beda pendapat tidak menjadikan kita khianat, beda persepsi tidak menjadikan kita emosi. Dengan demikian maka proses demokrasi yang sangat mahal biayanya tidak bertambah mahal lagi dengan mengorbankan Persatuan dan Kesatuan Bangsa.
Sumber: PERANTAU
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H