Membaca tulisan Syamsudin Haris dalam “Memperkuat Peran Gubernur” (Kompas, 26/11/2010) seperti ada sesuatu yang salah. Paling tidak penafsiran salah pembaca yang cenderung mengartikan judul tersebut sebagai bentuk resentralisasi dan ketidakpercayaan terhadap peran kepala daerah di kabupaten/kota dalam hubungannya dengan gubernur selaku wakil pemerintah pusat.
Belum terlalu lama, di masa lalu ketika wajah provinsi begitu dominan, mencengkeram sampai kepada pemerintahan yang terbawah, mendikte pemerintah kabupaten/kota hanya sebagai para pelaksana perintah-perintah pemerintah pusat. Walaupun ada terminologi desentralisasi, namun hubungan pusat-daerah cenderung dilakukan dengan cara dekonsentrasi. Yang terjadi adalah Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Desa di masa lalu nyaris berjalan tanpa ruh, inisiatif dan kreativitas. Dalam waktu yang sama, masyarakat daerah sudah lebih dulu “mati” dalam belenggu monopolitik dan uniformitas.
Konyolnya lagi, masyarakat daerah hanya terpaku ketika hasil alam yang begitu kaya dari daerah-daerah tertentu lewat begitu saja di hadapan mereka untuk diangkut ke ”pusat”. Dengan atau tanpa peran provinsi dalam andil itu, wajah provinsi terlihat sangar sebagai wakil pemerintah pusat. Dan wajah sangar itu masih membayang dalam benak masyarakat daerah.
Wajah provinsi dimaksud tidak lepas dari konsep otonomi daerah yang selalu berubah dari masa ke masa. Abdul Gaffar Karim (2003) menyebut persoalan otonomi daerah sebagai “bangunan goyah di atas fondasi bermasalah”. Analogi yang merujuk kepada rapuhnya kita yang berambisi sebagai satu bangsa di atas jargon negara kesatuan. Dan mengharamkan federalisme sebagai fondasi yang layak.
Namun fondasi itu terlanjur sudah menjadi pijakan, dan terlalu beresiko apabila negara ini tiba-tiba mengganti pijakan yang akan merubah secara fundamental tata negara dan tata pemerintahannya. Dan secara serta merta meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan sosial bangsa ini. Paling tidak untuk saat ini, resiko itu tentu saja tidak siapapun akan siap menangggungnya.
Tulisan ini juga dimaksudkan untuk menggambarkan sebuah kondisi dimana munculnya disharmoni diantara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota maupun diantara pemerintah kabupaten/kota dengan daerah otonom tetangganya.
Realitas itu sudah menjadi konsumsi publik yang semakin terbuka, dan bahkan seringkali terjadi saling kritik dan perang terbuka di media. Bahkan patut diduga, kondisi tersebut akan semakin memanas ketika menjelang pemilukada.
Banyak pihak beranggapan bahwa hal itu lumrah dalam kacamata demokrasi. Sepanjang kritik dan debat terbuka tersebut masih berada dalam koridor dan batasan demokratisasi. Karena jangan pernah berharap bahwa kondisi tersebut terjadi di masa lalu. Namun bahayanya, kebuntuan komunikasi tersebut akan merugikan rakyat yang sepatutnya memperoleh pelayanan terbaik dari semua penyelenggara pemerintahan.
Sebelum lebih jauh mencari solusi konstitusional yang digulirkan banyak pihak, yang sudah barang tentu akan membutuhkan energi luar biasa dan waktu yang relatif lama. Kenapa tidak segera dicari solusi-solusi praktis untuk mengukuhkan pola hubungan yang jelas antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota maupun hubungan antara pemerintah kabupaten/kota dengan kabupaten/kota tetangganya.
Pola hubungan ini seringkali dianggap remeh oleh kepala daerah yang seringkali lebih menonjolkan ego daerahnya. Padahal, “hubungan silaturahmi” ini sesungguhnya dapat menyelesaikan beragam masalah. Terlebih, hubungan daerah induk dengan daerah otonom yang baru dibentuk.
Pola hubungan tersebut paling tidak didasari beberapa aspek. Pertama, memperkuat komitmen kerakyatan. Dengan visi dan misi yang mungkin sama, seragam dan bahkan streotif di masa kampanye pemilukada, dalam prakteknya seringkali gubernur dan bupati/walikota berjalan sendiri-sendiri. Dengan komitmen kerakyatan yang sama sebagai dasar perjuangan, hambatan tersebut dapat dihilangkan dan bahkan disinergikan.