Mohon tunggu...
Solusi Bijak
Solusi Bijak Mohon Tunggu... -

Blogger and enthusiast for Tax, Family and Leadership

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Makna RA Kartini dan Anne Frank dalam Dunia Anak

1 Juli 2013   08:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:11 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="RA Kartini & Anne Frank"][/caption] Jangan pernah meremehkan arti dari sebuah kegiatan sederhana seperti menulis. Buah pena bila disusun dengan racikan gelora hati, memuat apa yang terpendam didalam diri, serta berada pada waktu yang tepat, dapat mewarnai tonggak sejarah umat manusia. Hal itu mungkin saja dapat terjadi kepada anak kita sebagai agen sebuah perubahan. Contoh nyata, lihatlah pada figur RA Kartini dan Anne Frank, sosok perempuan muda berbeda negara dengan dampak dahsyat pada sejarah. Stigma masyarakat di dunia, termasuk di Indonesia, memiliki kecenderungan untuk mengedepankan dominasi gender pria walau di Indonesia,ada 1 (satu) suku yang masih mengedepankan nilai Matrilineal / Matriarkhat, seperti suku Minangkabau di Provinsi Sumatra Barat. Secara umum, kaum wanita /anak perempuan dinilai oleh kebanyakan warga, memiliki posisi lebih rendah dari kaum pria / anak lelaki di masa lalu. Perubahan dunia modern khususnya sejak era post milenium (tahun 2000 ke atas) telah mendudukkan posisi gender antara anak lelaki dan anak perempuan dengan lebih proporsional dan fair. Disadari atau tidak, disetujui atau tidak, fakta dilapangan menunjukkan anak perempuan lebih dominan bergulat dengan pencatatan baik dalam bentuk diary / catatan harian, notes, buku tulis, yang mengisahkan ungkapan mereka dalam hal apapun. Sedangkan nun jauh di belakang, di abad 19 khususnya, pada masa penjajahan Belanda waktu itu, RA Kartini menuliskan guratan isi hatinya yang memuat ketidak puasan terhadap kondisi sosial pada wanita Indonesia yang terhambat untuk mengembangkan potensi terbesarnya dikarenakan stigma tradisi. Mungkin saat tersebut, RA Kartini tidak dapat meramalkan bahwa apa yang dilakukannya lewat tulisan, menjadi sebuah tonggak perubahan kondisi Wanita Indonesia yang sayangnya baru dapat dinikmati ketika Beliau sudah tiada pada usia 25 tahun! Di bagian dunia lain, seorang anak perempuan malah sedang merasakan sebuah pergulatan hebat untuk bertahan hidup melawan keperkasaan Sang Maut yang mengintai dalam bentuk Holocaust. Anne Frank menggunakan diary yang ditulisnya sebagai alat untuk mempertahankan harapan hidupnya dalam himpitan penjajahan Nazi saat itu di Eropa. Anne Frank bahkan berharap bahwa diary-nya suatu saat dapat dipublikasikan ketika perang berakhir. Anne Frank menganggap diary yang ditulisnya bukan sebagai benda mati melainkan teman terbaiknya dikala menderita. Sedihnya, harapan anak perempuan ini untuk bertahan hidup tidak terwujud, akan tetapi impiannya untuk mempublikasikan tulisannya kemudian menjadi tonggak sejarah. Baik RA Kartini dan Anne Frank saat itu mungkin tidak berpikir sebelumnya apa yang terkandung dalam makna dan wawasan worldvision. Mereka memiliki pergulatan hidupnya masing-masing, dalam dunianya masing-masing serta sedang berjuang masing-masing dalam hal berbeda. Di saat RA Kartini dan Anne Frank berjuang dan memberikan wujud embrio perubahan dalam bentuk tulisan itulah, wawasan worldvision telah terbentuk tanpa disadari. Hal berikutnya yang penting untuk disadari oleh setiap insan di dunia ini adalah, jangan pernah meremehkan Arti Seorang Anak dalam respons mereka terhadap lingkungannya. Berikan sebuah wadah lingkungan yang tepat, yang seyogyanya memberikan kebebasan anak dalam pengembangan potensi maksimalnya, yang tidak menghilangkan keceriaan, kelucuan, kejujuran, kepolosan dan ketulusan anak terhadap dunia yang makin lama makin kejam ini. Entah posisi kita sebagai orang dewasa, sebagai orang tua, sebagai wali, sebagai kakak yang lebih besar, atau apapun juga, dunia anak jangan dikotori dengan komersialisasi berlebihan, tontonan yang tidak mendidik, teladan buruk, pengaruh narkoba dan kekejaman seksual serta hal buruk lainnya. “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” . Buah pikir dari Bung Karno, Proklamator RI yang menunjukkan pentingnya makna seorang anak muda. Dan bukankah seorang anak muda juga harus melalui proses panjang sebagai seorang anak, bukan? Himpitan penjajahan dan stigma diskriminasi gender, meski menyedihkan, namun secara aneh telah menelurkan agen perubahan dalam diri RA Kartini dan Anne Frank dengan wawasan worldvision. Sayangnya, nyawa mereka serta kemungkinan untuk penggalian potensi mereka yang besar bila mereka tetap hidup hingga masa tuanya, menjadi pupus. Mudah-mudahan di masa mendatang, anak-anak kita pada generasi sekarang tidak perlu mengalami hal menyedihkan seperti itu. Salam sukses selalu! Hak Cipta Foto pada Situs Wikipedia dan Situs Anne Frank Twitter : @solusi_bijak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun