Nampaknya perlu diajukan uji materi kepada MK untuk merobohkan 3 dasar hukum yang menjadi landasan desain pembinaan dan pengembangan kepala sekolah/madrasah, yaitu Permendiknas 28 tahun 2010, Permendiknas No.13 tahun 2007 dan Permendiknas No.35 tahun 2010. Terlihat jelas bahwa jabatan kepala sekolah/madrasah merupakan jabatan karir bagi guru. Lantaran ketiga produk hukum ini menutup peluang bagi kalangan profesi yang sebidang untuk dapat berkarir sebagai kepala sekolah/madrasah, nampaknya diperlukan uji material terhadap ketiga produk hukum ini. Beberapa keberatan layak diajukan sebagai bahan uji material terhadap bias jabatan kepala sekolah ini. Pertama, bagaimana mungkin guru yang dididik melalui LPTK (Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan) guna menguasai 4 kompetensi sebagai guru (yaitu kompetensi kepribadian, sosial, pedagogy dan profesional) mendadak dinyatakan layak untuk menduduki jabatan struktural sebagai kepala sekolah/madrasah yang menuntut kompetensi berbeda (kompetensi kepribadian, sosial, manajerial, supervisi dan kewirausahaan). Seorang guru yang baik, baik ia guru mapel maupun guru kelas, belum tentu ia mampu menjadi kepala sekolah yang baik. Kedua, lembaga apa yang dinyatakan layak dan memiliki otoritas untuk menghasilkan calon-calon kepala sekolah/madrasah? Jika LPTK yang senantiasa ditingkatkan mutunya melalui evaluasi, akreditasi dan sertifikasi saja dianggap kurang layak memproduksi calon-calon kepala sekolah, apakah pemerintah perlu dan dapat percaya pada Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah (LPPKS). Dalam kerangka kualifikasi nasional Indonesia (KKNI) pendidikan untuk kepala sekolah menduduki peringkat berapa? Ketiga, bagaimana mungkin mendapatkan kepala sekolah/madrasah yang profesional jika jabatan tersebut tidak lebih sekedar tugas tambahan sebagai seorang guru sebagaimana tertulis dalam Permendiknas 28 tahun 2010? Sebuah profesionalisme tidak hanya menuntut kualifikasi dan kompetensi dari calon pejabatnya, melainkan lebih pada kepuasan stakeholder terhadap kinerja dan kontribusi sang pejabat. Dan keempat, bagaimana mungkin guru dipandang sebagai satu-satunya profesi yang mampu menghantarkan pada jabatan kepala sekolah & madrasah, pada saat terdapat pula tenaga profesional yang bertugas sebagai pustakawan, laboran, administratur dan teknisi ICT yang justru memiliki kedekatan kompetensi sebagai manajer sekolah/madrasah. # Kesombongan ini harus ditumbangkan.... Bravo untuk kawan2ku di MPI Manajemen Pendidikan Islam)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI