Pencatatan nikah dipandang dapat melindungi dan memelihara kemaslahatan jiwa karena tanpa adanya pencatatan kondisi psikologis istri dan terlebih anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut merasa tidak nyaman dan tidak tenang. Ketika anak memasuki usia sekolah dan ketika didaftarkan setiap lembaga pendidikan mensyaratkan yang salah satunya adalah akta kelahiran anak. Syarat untuk dapat membuat akta kelahiran anak adalah buku nikah dan orang yang memiliki buku nikah adalah orang yang ketika akad nikah mencatatkan pernikahannya.
Pencatatan nikah dipandang dapat melindungi dan memelihara kemaslahatan akal adalah telah dijadikannya manusia dalam bentuk yang paling baik dibandingkan dengan bentuk makhluk lain dengan akalnya. Dan anak yang terlahir di dunia modern ini dengan status nikah tidak tercatat dan bahwa orang tuanya tidak memiliki buku nikah, maka kondisi psikologisnya tentu tidak nyaman karena merasa malu dan hilangnya rasa percaya diri, anak pun mulai menghindar untuk bergaul dan akhirnya lebih memilih untuk mengurung diri di rumah. Kondisi psikologis seperti ini sangat berpengaruh pada akal yang akhirnya membuat anak tidak dapat berpikir dengan baik dan tidak dapat mengembangkan alam pikirannya dengan maksimal.
Pencatatan nikah juga dipandang dapat melindungi dan memelihara kemaslahatan keturunan, karena dengan tercatatnya akad pernikahan, maka anak yang dilahirkan pun memiliki identitas yang jelas dan bias dibuktikan secara hukum.
Terakhir, pencatatan nikah dipandang dapat melindungi dan memelihara kemaslahatan agama, karena dengan jelasnya identitas pernikahan yakni dapat dibuktikan melalui buku nikah, maka identitas anak yang dilahirkan memiliki kejelasan, sehingga ketika orang tuanya meninggal dunia, maka anak tidak kesulitan untukmendapatkan harta warisan dari orang tuanya. Sebaliknya, tidak sedikit di antara masyarakat muslim yang bermasalah ketika ingin membagi harta warisan.
Hal ini bisa jadi disebabkan karena tidak adanya pencatatan nikah atau seorang suami menikah lagi namun tidak secara tercatat. Ketika suami meninggal dunia, istri muda mendatangi istri tua yang secara hokum sebagai istri sahsuaminya untuk menyatakan bahwa ia (istri muda) juga istri sah suami mereka, sehingga ia dan anaknya juga mendapatkan harta warisan. Namun dengan tidak adanya pencatatan terhadap pernikahannya, maka akad nikah yang dilakukan beberapa lama sebelumnya tidak dapat dibuktikan secara hukum, sehingga ia dan anaknya tidak berhak mendapatkan harta waris.
Jika ditelisik lebih dalam lagi, pencatatan pernikahan yang diatur melalui perturan perundangan bertujuan untuk melindungi hak-hak warga negara dan mewujudkan ketentuan kepastian hukum, transparansi, serta tertib administrasi di dalam pelaksanaan pernikahan. Hal ini sesuai dengan UU Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Pada pasal 6 ayat 2 menyebutkan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) tidak memiliki kekuatan hukum serta pasal 7 ayat 1 yang berbunyi, “Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN)”. Karena pencatatan nikah dapat dijadikan alat bukti yang otentik agar seseorang mendapatkan kepastian hukum.
Kemaslahatan pada Pencatatan pernikahan tampak jelas karena tanpa pencatatan, suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum, dan dampak yang timbul adalah, apabila salah satu pihakmelalaikan kewajibannya, maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti yang sah dan otentik dari perkawinan yang dilangsungkannya. Tentu saja, keadaan demikian bertentangan dengan misi dan tujuan perkawinan itu sendiri. [SZP]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H