Alasannya sederhana. Ahok adalah sumber kebencian itu sendiri. Dia yang memicu kemarahan massa. Dia adalah pemicu ledakan amarah itu sendiri.
Kebencian itu tidak datang begitu saja. Ada sebab-sebab tentunya. Hanya orang gila yang benci seseorang tanpa sebab. Dan massa yang banyak itu tidak gila. Dia hanya marah pada orang yg, maaf, tak jauh beda dari orang gila.
Pada Ahok, kebencian itu dimulai sejak dia hadir dengan gaya komunikasinya yg menerobos batas-batas kewajaran. Ahok mencerminkan sikap yg bebas dan berlebihan. Bagi ukuran kita yg terdidik untuk berkomunikasi dg gaya yang santun, Ahok adalah penyimpangan.
Semula kita memaklumi dengan sikap sabar: begitulah Ahok. Tapi omongan yang terus-menerus galak bukanlah hal yang baik untuk dipertahankan. Lama-lama kita jemu. Komunikasi seperti itu bukan saja seperti sampah tapi juga memicu marah. Dari seorang pejabat publik yang terhormat, kata-kata yang galak dan menyalak, itu tak menunjukkan sesuatu yang baik.
Kegalakan itu boleh kita maklumi jika itu sekedar menyasar pejabat-pejabat yang bersalah. Oke. Hok, silahkan sikat mereka dengan galakmu. Marahi mereka. Hukum mereka.
Tapi Ahok rupanya tidak hanya menyasar pejabat. Kegalakannya yang tak terkontrol juga menyasar kaum lemah, orang tua, ibu-ibu yang tak berdaya. Mereka mungkin bersalah. Mereka mungkin keliru. Tapi mereka butuh diarahkan dengan baik, diayomi, dikenalkan soal hukum bukan diajari gaya hukum rimba. Mereka manusia. Jelas mereka punya marah. Tapi dia lemah dan tak berdaya.
Kemarahan dan kegalakan Ahok pada masyarakat kecil, ibu-ibu dan orang tua yang lemah tak berdaya, tak akan menghadirkan penilaian publik bahwa Ahok tegas. Kegalakan semacam ini tak bakal menghadirkan cap atau label yg positif pada Ahok. Jelas ini merongrong kewibawaannya. Sebab publik akhirnya bisa menilai apa artinya menghukum dengan keras orang-orang yang lemah? Toh akhirnya orang-orang seperti mereka tak kan pernah memberi perlawanan.
Kemarahan publik berpuncak pada kesesumbaran Ahok saat menistakan agama. Ahok dengan gayanya yg - masih terus - galak memasuki domain keimanan masyarakat muslim DKI dengan cara yg tak santun. Dia mengobrak-abrik kitab suci dengan pernyataan "jangan mau dibohongi pake surat al-maidah!".
Sadis sekali Ahok. Di Indonesia untung saja bukan India di zaman Ghandi. Ahok mungkin perlu belajar sejarah atau lupa bahwa Ghandi ditembak mati seorang Hindu yang radikal. Hanya karena dia berusaha menjadi penengah dan pembawa nilai-nilai pluralisme di tengah ketegangan agama Islam dan Hindu di India.
Ahok bukan pembaca sejarah musik yang baik mungkin sehingga tidak tahu bagaimana salah seorang personel the Beatles, John Lennon, ditembak mati oleh seorang yang semula fans fanatiknya.
Atau Ahok tidak seperti saya yang penyuka film the transcendance yg tokoh utamanya yang pembela berat sain di atas dogma agama dan keyakinan apapun akhirnya dibunuh oleh seorang radikal.