Sore berubah senja. Sekitar setengah jam lagi tiba waktunya berbuka puasa. Namun Mimin masih saja berkutat dengan segala macam perkakas kecantikannya. Sudah hampir sejam bayangan dirinya terus dipelototi melalui cermin riasnya. Sesekali, dipolesnya bedak padat itu ke pipinya. Tak lupa sehelai garis merah dibuatnya mengikuti bentuk bibir kecilnya.
“Min, Cepat.. Sebentar lagi waktunya buka puasa!” Teriak Pak Jefri-ayah Mimin dari teras rumahnya sembari membelah degan yang baru dipetiknya.
“Sebentar pak ..” sahut Mimin.
Sesaat kemudian Mimin tampil dengan balutan busana merah, senada dengan goresan lipstick yang melapisi bibirnya.
“Masya Allah, Mimin… kamu itu sebenarnya mau ke masjid atau ke mall? kok seperti itu” Ujar Pak Jefri ketika melihat anaknya.
“Gak masalah kan pak, mempercantik diri sebelum ke rumah Allah. Masa’ ke mall aja rapi, ke rumah Allah enggak? Lagipula, nanti kan ada staff dari telkomsel juga, pak” sangkal Mimin.
“lya, tapi kan gak harus dandan menor-menor seperti ini…”
Di tengah perdebatan kecil itu, Bu Halimah-Ibu Mimin muncul menuju teras rumah. Tangan kanannya tampak membawa sekantong plastik gorengan, sementara tangan kirinya membawa seceret minuman hangat.
“Ada apa tho, Pak? Kok kedengarannya serius sekali..” tampaknya Bu Halimah penasaran.
“Ini lho bu, coba liat Mimin. Mau mengantar takjil ke masjid aja dandanannya heboh begini. Seperti mau ketemu presiden aja..”
“Ini lebih dari presiden, pak.. Mimin kan mau menghadap Allah.” Ia kembali berdalih.
“Menghadap Allah? Mati dong..” ujar ayahnya seraya tertawa kecil.
“Ihh… Bapak kok gitu?” wajah Mimin berubah cemberut.
“Sudah.. sudah.. Benar Min, untuk menghadap Allah kita seharusnya berpakaian yang rapi dan pantas. Tapi, tidak berlebihan seperti ini. Allah kan tidak suka sesuatu yang berlebihan.. Kalau dandanannya Mimin aja seperti ini, bagaimana kalau wudhu nanti? Apa Mimin mau bedaknya luntur? Atau, apa Mimin yakin bisa menjaga wudhunya sampai waktu magrib nanti? Ingat Min, kecantikan itu tidak diukur dari berapa banyak bedak yang kamu poles, atau berapa banyak alat kosmetik yang kamu gunakan. Tapi, kecantikan itu datangnya dari hati. Itu yang lebih penting” nasihat Bu Halimah.
Mimin mengangguk kelu, namun ia mulai mengerti.
“Ya sudah, antar dulu nih takjilnya. Sebentar lagi waktunya buka puasa”ujar Ibu. Sesaat kemudian, Mimin menghilang dan bergegas menuju masjid.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H