Mohon tunggu...
Solihin
Solihin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Guru IPS

Sedang berusaha sebaik-baiknya || "Man Jadda Wajada"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Ekosida di Papua: Perlawanan Masyarakat Adat terhadap Ekspansi Perkebunan Sawit

17 Juni 2024   22:12 Diperbarui: 17 Juni 2024   22:50 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penolakan Suku Awyu dan Moi terhadap Penggunaan Lahan Kebun Sawit (Sumber: Pinterest.com)

 

Di tengah maraknya isu perubahan iklim dan pelestarian lingkungan, Papua menghadapi ancaman serius berupa deforestasi yang mengakibatkan ekosida, yaitu perusakan lingkungan secara masif yang merusak ekosistem dan kehidupan manusia. Ekspansi agresif perkebunan sawit menjadi penyebab utama hilangnya ribuan hektar hutan, berdampak buruk bagi keanekaragaman hayati dan kehidupan masyarakat adat setempat. Hutan Papua, yang merupakan salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, menjadi rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna unik yang terancam oleh kepentingan ekonomi perusahaan besar. Proses deforestasi yang melibatkan pembukaan lahan melalui pembakaran atau penebangan besar-besaran merusak vegetasi, mengganggu ekosistem kompleks, dan menghancurkan habitat satwa liar endemik.

Masyarakat adat Papua, yang telah hidup berdampingan dengan hutan selama berabad-abad, menjadi korban utama deforestasi ini. Hutan bagi mereka adalah sumber kehidupan yang menyediakan makanan, air bersih, obat-obatan, dan bahan bangunan, serta memiliki makna spiritual dan budaya yang mendalam. Kehilangan hutan berarti kehilangan identitas dan warisan budaya yang tak ternilai. Dampak deforestasi juga berpengaruh besar pada iklim global, karena hutan Papua berfungsi sebagai penyerap karbon dioksida yang efektif. Hilangnya hutan ini mengurangi kapasitas penyimpanan karbon, memperburuk krisis iklim, serta mengubah siklus hidrologi lokal, meningkatkan suhu panas dan kekeringan.

Mengetahui ancaman ini, masyarakat adat Papua tidak tinggal diam dan berjuang mempertahankan hutan adat mereka dari ekspansi perkebunan sawit. Perlawanan ini bukan hanya tentang mempertahankan tanah, tetapi juga identitas, budaya, dan cara hidup mereka yang telah diwariskan turun-temurun. Mereka melakukan protes damai, mengajukan tuntutan hukum, dan bekerja sama dengan organisasi non-pemerintah untuk membela (mengadvokasi) hak-hak mereka. Mereka juga menggunakan media sosial dan kampanye internasional untuk menarik perhatian dunia terhadap situasi di tanah mereka.

Salah satu bentuk perlawanan masyarakat adat Papua adalah penolakan terhadap pembabatan hutan adat Suku Awyu di Kabupaten Boven Digoel dan Suku Moi di Kabupaten Sorong oleh PT Indo Asiana Lestari (IAL) dan PT Sorong Agro Sawitindo. Perusahaan-perusahaan ini telah memperoleh izin dari pemerintah provinsi Papua untuk menggunakan lahan masyarakat adat untuk perkebunan kelapa sawit. Mengetahui hal ini, perwakilan dari Suku Awyu dan Moi menggugat PT IAL ke PTUN Provinsi Papua terkait izin kelayakan perkebunan sawit, menuntut pencabutan izin usaha sawit dari tanah adat Suku Awyu seluas 39.000 hektar. Namun, Majelis Hakim PTUN Provinsi Papua menolak gugatan tersebut dengan alasan bahwa izin perkebunan sawit telah sesuai dengan prosedur analisis dampak lingkungan (Amdal). Seharusnya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 22 tahun 2021, masyarakat yang terdampak proyek harus dilibatkan dalam penilaian Amdal.

Pada 27 Mei 2024, perwakilan masyarakat adat Awyu menggelar aksi di depan kantor Mahkamah Agung, Jakarta. Aksi tersebut mendapat dukungan dari masyarakat melalui media sosial dengan slogan "All Eyes on Papua", menarik perhatian dunia terhadap isu deforestasi dan ekosida di Papua. Dukungan ini bertujuan untuk memberikan tekanan pada pemerintah dan perusahaan agar menghentikan kegiatan merusak lingkungan dan menghormati hak-hak masyarakat adat.

Namun, untuk menghentikan ekosida di Papua, diperlukan tindakan yang lebih konkret dan berkelanjutan. Pemerintah harus memperketat regulasi tentang penggunaan lahan dan memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi hutan adat dan masyarakat yang bergantung pada hutan tersebut, termasuk pemberian sanksi berat kepada perusahaan yang melanggar hukum dan peraturan lingkungan. Pendekatan holistik dalam pengelolaan sumber daya alam, yang mempertimbangkan keberlanjutan ekologis dan sosial yang sangat diperlukan.

Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam ekspansi perkebunan sawit harus bertanggung jawab memastikan operasi mereka tidak merusak lingkungan dan menghormati hak-hak masyarakat adat melalui kebijakan keberlanjutan yang ketat dan transparansi dalam rantai pasokan mereka. Perlawanan masyarakat adat Papua terhadap ekspansi perkebunan sawit menunjukkan perjuangan kuat untuk mendapat keadilan lingkungan, yang sangat membutuhkan dukungan lokal dan global. Oleh sebab itu, melindungi hutan adat Papua berarti menjaga masa depan bumi dan keberlanjutan kehidupan, serta mendukung harmoni kehidupan masyarakat adat dengan alam yang telah berlangsung selama berabad-abad. 

Slogan All Eyes on Papua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun