Mohon tunggu...
soleman montori
soleman montori Mohon Tunggu... -

Soleman Montori

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Hukuman Mati, Warisan Masa Purba

13 Januari 2015   22:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:13 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: SOLEMAN MONTORI

Hukuman mati (kumti) pada awalnya hanyalah sebuah dongeng yang melekat kuat pada masyarakat purba dan dipercaya sebagai satu-satunya cara mengatasi masalah. Masyarakat purba(ancient) beranggapan bahwa orang bersalah perlu dihukum seberat-beratnya dengan berbagai cara seperti gigi ganti gigi, mata ganti mata, telinga ganti telinga, tangan ganti tangan, bahkan perlu dilenyapkan dari permukaan bumi.

Sejak kapan ide kumti dimulai?Penerapan kumti pertama kali tidak diketahui dengan pasti. Kumti adalah bentuk balas dendam terhadap pelaku tindak kriminal pada jaman purba. Kumti sudah dipratekan padatahun 399 SM ketika Socrates divonis mati oleh pengadilan Athena. Secara resmi kumti (capital punishment) diakui bersamaan dengan adanya hukum tertulis, yakni sejak adanya undang-undang raja Hamurabi di Babilonia pada abad ke-18 SM. Saat itu ada 25 jenis kejahatan yang diancam dengan kumti.

Dalam perkembangannya, jenis tindak pidana yang diancam kumti selalu berubah-ubah dan berbeda-beda di tiap negara. Misalnya di Yunani pada abad ke-7 SM, kumti diberlakukan untuk semua tindak pidana.

Pada jaman purba, kumti dilakukan di depan publik dan dijadikan tontonan. Pelaku kejahatan ringan seperti mencopet atau mencuri pun bisa dihukum mati. Kumti dilakukan dengan cara amat keji seperti dikubur hidup-hidup, dibakar hidup-hidup, dipancung, disalib, dilontarkan dari suatu ketinggian, dilempari batu beramai-ramai (dirajam) dan di India diinjak oleh gajah di kepala.

Pada akhir abad ke-18, kumti di depan publik dinilai tidak manusiawi, lalu diganti dengan kumti yang dinilai lebih “manusiawi.” Di Prancis misalnya pada saat revolusi menggunakan alat yang disebut guillotine sebagai model eksekusi mati yang dianggap lebih “manusiawi”, yaitu semacam pisau raksasa untuk memenggal leher terpidana.

Walaupun dunia dari waktu ke waktu telah mengalami kemajuan dalam berbagai bidang dan makin modern, namun model kumti pada jaman kuno (ancient) yang tidak manusiawi diadopsi dan diadaptasi. Spiritnya sama, yaitu membatasi kekerasan dan mencegah pertumpahan darah, memberi efek jera dan menurunkan tingkat kejahatan.

Dari waktu ke waktu, penerapan kumti pun mengalami bias ras dan kelas.Di Amerika Serikat misalnya, sekitar 80 persen terpidana mati pada awal pemberlakuan kumti adalah warga kulit hitam dan berasal dari kelas bawah. Di sejumlah negara lainnya, terpidana mati yang berasal dari warga negara asing tidak diberi penterjemah selama proses persidangan.

Kumti yang memiliki tujuan untuk menegakkan keadilan memiliki sejarah yang lama dalam kehidupan masyarakat modern. Kontroversinya pun berlangsung sepanjang masa. Di era yang terbuka dan serba segera saat ini, penerapan kumti memiliki banyak argumen; menimbulkan pro-kontra di tingkatan masyarakat dan pengambil kebijakan; juga di panggung nasional dan internasional.

Kontroversi kumti tidak hanya terjadi diantara masyarakat yang awam tentang hukum, tapi adakalanya juga muncul dari para penegak hukum itu sendiri. Di Inggris pada abad 18, seorang hakimbernama J. Burnet, saat memvonis mati seorang pencuri kuda, ia berkata"Engkau dihukum gantung bukan karena mencuri kuda, tetapi supaya kuda-kuda itu tidak dicuri lagi". Apa yang terjadi setelah pencuri kuda dihukum mati? Ternyata kuda-kuda di Inggris tetap saja banyak yang dicuri.

Bagaimana argumen kumti di negara kita? Argumen yang banyak diekspos bahwa seseorang dihukum bukan karena telah melakukan kesalahan, tetapi dihukum agar tidak lagi melakukan kesalahan, atau dihukum untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, atau demi wibawa hukum.

Perbedaan pemahaman kumti juga terjadi antara aparat penegak hukum, dan antarlembaga negara. Misalnya antara MA dan MK memiliki pemahaman berbeda tentang PK. Menurut Arief Hidayat, hakim MK, pengajuan peninjauan kembali (PK) dilakukan berulang kali adalah demi asas kehati-hatian. Dikatakannya pula bahwa dalam pidana, asas kehati-hatian adalah sebagai rasa keadilan materil dan substansial. Namun menurut MA, peninjauan kembali (PK) cukup sekali saja.

Akibat perbedaan pemahaman yang “membahayakan tersebut” dan untuk menghindari cacat prosedur hukum, rencana kumti yang “diobral, digembar-gemborkan dan dibuat menjadi berita penting” menjelang akhir tahun 2014 batal dilaksanakan.

Hukum selalu menyatakan dirinya adil pada saat banyak masalah, tapi keadilannya yang singkat itu menimbulkan keraguan mengenai kemurniannya. Wibawa hukum memang harus ditegakkan, namun buah-buah kebenaran yang dimatangkan dengan paksa akan sulit ditemukan akar kebenarannya. Agar tidak terkesan menjadi permainan pikiran, hukum hendaknya tertulis di dalam hati nurani para penegak hukum, sehingga hikmat kebijaksanaannya tidak tersesat.

Kejahatan dalam bentuk apa pun bukan hanya menakutkan dan menjadi ancaman peradaban, tapi merusak cara hidup. Orang berbuat jahat karena cara hidupnya rusak; kumti bukan cara yang tepat untuk memperbaikinya. Sel dan bui, yang kemudian diubah lebih manusiawi menjadi Lembaga Pemasyarakatan adalah upaya yang baik untuk memperbaiki cara hidup para pelaku tindak kriminal.

Upaya lainnya yang dilakukan oleh pemerintah adalah membebaskan WNI terpidana mati di luar negeri. Mantan Menlu, Marty Tatalegawa dalam pidato tahunan Menlu di Jakarta, Jumat 4 Januari 2013 menjelaskan bahwa 33 WNI yang dituntut kumti di luar negeri dibebaskan dan dipulangkan ke tanah air. Dikatakannya pula bahwa pihak Kemenlu berhasil membebaskan 110 WNI dari kumti di berbagai negara sejak pertengahan 2011 sampai akhir 2012.

Pada tahun 2012, Fitriah Depsi Wahyuni, asal Jember; dan Nurhayati, asal Indramayu; keduanya TKI yang bekerja di Singapura berhasil dibebaskan dari kumti. Wilfrida, TKI terpidana mati di Malaysia juga berhasil dibebaskan. Satinah, TKI yang membunuh majikannya di Arab Saudi tahun 2014, bebas dari kumti setelah pemerintah dibantu donatur membayar diyat (uang pengganti kumti pancung) sebesar 7 Riyal yang setara dengan Rp 21 miliar.

Usaha yang dilakukan patut diapresiasi, namun terkesanpilih kasih dan terjadi diskriminasi hukum jika terpidana mati di dalam negeri“harus” dan terpidana mati di luar negeri “jangan.” Mengganti hukuman dengan bentuk yang lain dan atau mengampuni walaupun ditentang banyak orang lebih banyak memberi dampak positif ketimbang menjatuhkan kumti sebagai cara yang keji dan merendahkan martabat.

Masih baiknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang kumti lahir dari sebuah proses yang salah. Kasus Sengkon dan Karta pada tahun 1980 yang dihukum tak bersalah adalah pelajaran yang pahit. Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme dan tindak pidana lainnya bukan semata-mata karena tidak adanya kumti, tetapi karena problem struktur lainnya seperti kemiskinan, proses hukum yang tidak adil dan tidak transparan, dan prosedur pembelaan yang belum memadai.

Hak untuk hidup adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, sebagaimanadijamin oleh UUD 1945 pasal 28 huruf I ayat (1), yang berbunyi: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Hak-hak ini tidak boleh dikurangi oleh siapa pun, termasuk oleh negara. Jauh sebelumnya, yaitu tahun 1767, Cesare Beccaria dalam eseinya yang berjudul, “On Crimes and Punishment,” yang intinya mengatakan bahwa negara tidak berhak mencabut nyawa seseorang.

Betapa pun “manusiawinya” kumti, namun tetap dianggap sebagai bentuk hukuman yang keji, sehingga mendorong munculnya gerakan penghapusan kumti (abolitionist) di sejumlah negara. Hak untuk hidup menjadi dasar penghapusannya. Survei PBB pada tahun 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktek kumti dan angka kejahatan pembunuhan, hasilnya menunjukkan bahwa praktek kumti lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pelaku pembunuhan.

Bila dicermati, ancaman kumti kepada para pelaku kejahatan sejak jaman purba sampai kini terbukti tidak efektif untuk memberi efek jera dan rasa takut. Keberhasilan BNN pada tanggal 5 Januari 2015 menangkap 9 orang penyelundup 800 kg narkoba, yang terungkap beberapa hari setelah rencana eksekusi mati napi narkoba yang batal pada akhir tahun 2014, adalah salah satu buktinya.

Penghapusan kumti semakin kuat saat Deklarasi Universal HAM yang disahkan oleh PBB. Di Eropa penghapusan kumti merebak pada tahun 1950 hingga 1980. Tahun 1999, Paus Johanes Paulus II menyerukan penghapusan kumti. Seruan Paus bersamaan dengan Resolusi Komisi Tinggi HAM PBB yang menyerukan moratorium kumti.

Menurut Amnesty International dan Hansd Off Cain (September 2007) terdapat 94 negara yang menghapus kumti untuk seluruh kategori kejahatan, 9 negara menghapus kumti untuk pidana biasa, 39 negara melakukan moratorium (defacto tidak menerapkan) praktek kumti, 142 negara melakukan penghapusan (abolisi) kumti, 55 negara masih menerapkan praktek kumti termasuk Indonesia.

Tidak ada seorang manusia yang lahir sebagai penjahat, namun siapa pun tidak bisa menolak dari kenyataan bahwa di dunia ini sampai kapan pun tetap ada orang jahat. Tidak ada manusia yang memiliki hak untuk mengambil nyawa manusia lain, termasuk negara dengan cara kumti. Karena masih ada cara lain selain kumti untuk membuktikan bahwa kebenaran itu ada.Sebab kebenaran bukan hanya ada pada orang baik, tapi juga dimiliki oleh orang jahat sekali pun.

Kematian adalah misteri ilahi. Tidak ada seorang pun yang tahu kapan dan dengan cara apa seseorang meregang nyawa. Dalam menjalani kehidupan, banyak pilihan yang dihadapi manusia, namun yang mengherankan kehidupan yang merupakan anugerahTuhan tidak selalu menjadi pilihan?

Secara rasional, hukum harus memisahkan antara yang baik dan jahat, sehingga harus ada yang dihakimi dan dihukum. Namun secara spiritual, hati nurani manusia cenderung mempersatukan apa yang berbeda dan mengampuni. Nelson Mandela 27 tahun di penjara, saat ia diberi pengampunan dan sebelum ajal menjemputnya, ia mewarisi banyak hal yang baik dalam sisa hidupnya.

Kita terkesan menjadi bangsa besar dan ditakuti dengan dendam yang membara dan selalu mengingat-ingat kesalahan. Bila memberi pengampunan dianggap melenyapkan segala sesuatu yang telah terjadi. Orang yang salah mengampuni atau salah menghukumkah yang paling berdosa?

Kumti merupakan bentuk pidana paling tua, sehingga tidak sesuai lagi dengan kehendak zaman. Bukan tidak ada alternatif lain sebagai penggantinya. UUD 1945 pasal 28 huruf I ayat (1) sudah mengamanatkannya. Hukuman seumur hidup lebih manusiawi dan dikehendaki banyak orang sebagai penggantinya.

Orang yang dihukum mati tidak menanggung kesalahan-kesalahan yang dibuatnya terhadap orang lain; ia hanya dimatikan untuk dirinya sendiri. Kumti bertentangan dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab, dan hak untuk hidup (the right to life); dan hanya bisa mengubah sikap orang yang berpikir positif agar tidak meniru kejahatan orang yang telah dihukum mati. Berkurangkah kejahatan setelah pelakunya dihukum mati? Atau adakah yang bersorak-sorak atas keberhasilan hukuman mati? *

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun