Oleh: SOLEMAN MONTORI.
Bangsa Indonesia memiliki pengalaman bertahun-tahun tentang problematika ujian. Persoalan utamanya selalu tentang ketidakjujuran. Ketidakjujuran di lembaga pendidikan menjelang dan saat pelaksanaan UN seakan menjadi penyakit tahunan yang sulit dibasmi. Integritas stakeholders pendidikan dan pihak lain yang berkepentingan dengan UN dianggap bukan lagi patokan moral. Mereka menganggap pendidikan akan bermoral jika siswa mendapat nilai yang tinggi dan semua lulus UN.
UN tahun 2015 ini yang didesak oleh berbagai pihak agar tidak dilaksanakan, tapi karena demi alasan pemetaan mutu pendidikan, akhirnya dilaksanakan lagi dengan mengusung tiga perubahan. Perubahan pertama, hasil UN tidak lagi menentukan kelulusan. Kedua, hasil UN bisa menjadi tiket untuk masuk perguruan tinggi. Ketiga, pelaksanaan UN melalui sistem Computer Base Test (CBT).
Pemetaan mutu pendidikan nampaknya merupakan alasan klasik untuk tetap mempertahankan UN. Alasan klasik ini rasanya tidak logis, karena selama bertahun-tahun pelaksanaan UN, salah satu alasannya adalah untuk pemetaan mutu pendidikan. NTT merupakan salah satu provinsi terendah nila UN-nya berdasarkan hasil UN selama beberapa tahun terakhir. Walaupun mutu pendidikan telah lama terpetakan, namun tidak ada penangananatau perlakuan khusus kepada provinsi atau daerah yang rendah nilai UN-nya.
Pertanyaannya, apa yang hendak dipetakan melalui hasil UN? Manajemen sekolah, kompetensi guru atau kemampuan siswa? Untuk apa hasil pemetaan mutu pendidikan? Bukankah selama ini hasil pemetaannya diabaikan?
Bila tujuan UN adalah untuk memetakan kemampuan siswa, alangkah baiknya jika UN diberlakukan kepada siswa sejak duduk di kelas I, sehingga kemampuan siswa yang sama pada mata pelajaran tertentu dapat diketahui sejak dari kelas I; bukan seperti selama ini nanti dipetakan melalui UN di kelas III, akibatnya sekolah merasa tidak bertanggung jawab lagi, karena siswa sudah lulus.
Maksudnya, yang UN masal setiap tahun bukan hanya di kelas III, tetapi untuk seluruh siswa, mulai dari siswa kelas I sampai III. Jika UN masal membebani keuangan negara, alangkah bijaksananya bila UN dilakukan dalam bentuk sampel berdasarkan kelompok low, middle dan high.
UN bersifat masal sudah lama teruji dan terbukti tidak efektif. Hasil UN tahun 2015 ini terkesan tidak penting, karena tidak menentukan kelulusan; namun di sisi lain dianggap sangat penting karena menjadi tiket untuk masuk perguruan tinggi. Logika berpikir seperti ini jelas memberi peluang kepada orang yang berkepentingan dengan hasil UN untuk berbuat curang dengan menghalalkan segala cara.
Kasus kebocoran soal UN pada tahun 2015 ini nampaknya menurun dari segi kuantitas, namun kualitas pembocorannya meningkat, karena dibocorkan melalui internet, dan merupakan hal yang luar biasadan nampaknya baru tahun ini terjadi. Ini adalah kejahatan yang luar biasa.
Siswa, guru dan sekolah di provinsi Aceh, Yogyakarta, Jakarta, Bandung, dan beberapa daerah lainnya sangat dirugikan oleh perilaku orang-orang bermental bejat membocorkan soal UN di internet atau dalam bentuk yang lainnya. Pelakunya perlu dihukum berat.
UN SMA/SMK dan sederat tahun ini walaupun telah mengalami sejumlah perubahan perbaikan, namun pelaksanaannya 99,16 % masih menggunakan model konvensional, sehingga peluang soalnya bocor atau dibocorkan sangat besar. Hanya 585 SMA/SMK (0,84 %) dari 70.000 SMA/SMK dan sederajatyang siap melaksanakan UN dengan sistem Computer Based Test (CBT). Ini artinya pelaksanaan UN dengan sistem CBT belum siap, tapi dipaksakan demi untuk mempertahankan UN.
Kapan prilaku tidak terpuji membocorkan soal UN berhenti dan disadari telah merugikan lembaga pendidikan? Akankah ada kebocoran soal lagi pada saat pelaksanaan UN di tingkat SD dan SMP? Jika terulang lagi, apa kata dunia tentang kualitas pendidikan di Indonesia?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H