Mohon tunggu...
soleman montori
soleman montori Mohon Tunggu... -

Soleman Montori

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

UN Menguji Kejujuran Siswa atau Sekolah?

14 April 2015   05:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:08 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: SOLEMAN MONTORI

Ujian Nasional(UN)merupakansalah satu kegiatanKemendikbud yang paling bergengsi dibanding kegiatan Kemendikbud lainnya. Dananya besar, pemberitaannya gencar, persiapannya super ketat, pelaksanaannya diproteksi dengan sejumlah peraturan agar terjaga dengan aman, lancar dan berlangsung jujur.

Pelaksanaan UN pada tahun-tahun sebelumnya membuat guru, siswa dan orang tua dihantui perasaan cemas dan takut. Takut jika prestasi dan prestise jatuh ke titik nadir. Cemas jika anak kebanggaangagal memenuhi harapanorang tua. Tidak lulus UN seakan-akan merupakanhal yang sangat tercela dan dianggap aib.Rasa malu tak bisa disembunyikan, martabat dan harga diri jatuh.

Ujian Nasional (UN) sejak dilaksanakantahun 1950-an telah beberapa kali mengalami evolusi, baik makna, manfaat, fungsi maupun bentuk penyelenggaraannya. Kelulusannya pernah ditentukan oleh guru, juga pernah ditentukan oleh sekolah dan daerah. Namun kualitasnya sampaitahun 2014 masih menimbulkan kecurigaan, perdebatan dan pro-kontra. Pelaksanaannya selalu menimbulkan kecemasan dan ketakutan, sehingga selalu hangat didiskusikan.

Problematika utama UN selama bertahun-tahun selalu bertumpu pada ketidakjujuran. Ujian Penghabisan diganti dengan EBTA karena alasan ketidakjujuran. EBTA diganti dengan EBTANAS karena alasan ketidakjujuran. EBTANAS diganti dengan UAN, UAN diganti dengan UN karena alasan ketidakjujuran. Pada tahun 2015 ini, UN dilaksanakan melaluisistem Computer Based Test (CBT), juga karena alasan ketidakjujuran. Mengapa ketidakjujuran merupakan patologi UN yang sulit dibasmi. Persoalan utamanya terletak pada mentalitas, komitmen dan konsistensi orang-orang yang berkepentingan dengan hasil UN.

Selama bertahun-tahun, sebagai akibat UN yang dijadikan hight stake test, mengakibatkan kondisi semua pihak yang terlibat di dalam pelaksanaan UN menjadi cemas dan takut, sehingga berbagai cara pun dihalalkan. Pelakunya ternyata tidak hanya siswa, tetapi juga guru, oknum kepala sekolah dan pihak-pihak lain yang merasa dihakimi oleh hasil UN.

Walaupun UN selama puluhan tahun telah mengalami perbaikan berulang-ulang, namun validitasnya selalu dipertanyakan. Hal ini mendorong Mendikbud, Anies Rasyid Baswedan, melakukan revolusi dengan mengeluarkan tiga kebijakan, yaitu UN tidak lagi menjadi syarat kelulusan, hasil UN bisa digunakan untuk masuk perguruan tinggi dan UN dilaksanaan melaluisistem Computer Based Test (CBT).

Hasil para praktisi dan ilmuwan tentang UN cukup banyak menghiasi jurnal ilmiah di kampus dan sekolah, isinya antara lain menuliskan tentang pemetaan pendidikan, manfaat hasil UN, demokrasi pendidikan dan otonomi sekolah untuk melaksanakan UN. Namun semuanya masih sebatas ide yang sulit dibumikan.

Kerinduan yang lama diimpikan itu, kini telah dibumikan, yaitu hasil UN tidak lagi menjadi syarat kelulusan. Ini artinya Kemendikbud telah mengembalikan otonomi pendidikan kepada sekolah, termasuk dalam menentukan lulus tidaknya siswa.Namun, hal ini nampaknya mengulang lagisistem evaluasi tahun 1969-2010 yang dikenal dengan nama EBTA lalu berganti menjadi EBTANAS dengan memberi kebebasan kepada sekolah untuk menentukan kelulusan siswa.

Kepercayaan yang diberikan pemerintah untuk melakukan ujian dalam bentuk EBTA/EBTANAS dan menentukan sendiri kelulusan tidak dilakukan dengan penuh tanggung jawab, tetapi “mendorong sekolah meluluskan semua siswanya”, akibatnya rentang mutu pendidikan antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya sangat lebar.

Apakah kepercayaan yang relatif sama yang diberikan oleh pemerintah pada tahun 2015 ini akan mendorong sekolah meluluskan semua siswanya? Atau membuat sebagian sekolah“mempersulit” kelulusan siswa?

Menurut Kemendikbud dari 70.000 lebih sekolah terdapat 720 sekolah yang bersedia menyelenggarakan UN dengan sistem CBT, namun setelah diverifikasi hanya terdapat 585 sekolah yang memenuhi syarat dari segi SDM maupun inrfastruktur untuk menyelenggarakannya. Ini artinya hanya sekitar 0,84 persen sekolah yang memenuhi syarat menyelenggarakan UN sistem CBT; sedangkan 99, 16 persen masih menggunakan lembar jawaban dari kertas.

Dari segi kerahasiaan, UN sistem CBT tidak mudah bocor, karena soal UN bukan daring (dalam jaringan ) atau tidak tersambung ke internet atau online, tetapi menggunakan jaringan wilayah lokal (Local Area Network, LAN) sebagai pengganti lembar jawaban. Kemungkinan peluang soal bocor adalah pada 99.16 persen yang tidak menggunakan sistem CBT.

Sekolah pelaksana UN dengan sistem Computer Based Test (CBT) walaupun jumlahnya masih kurang dari 1 persen dan belum sempurna, namun patut diapresiasi. Ketidaksempurnaannya antara lain: 1) Belum semua sekolah melaksanakan UN sistem CBT; 2) konsentrasi siswa terganggu, karena satu komputer digunakan oleh tiga siswa; 3) pada tanggal 13 April 2015 terdapat sekolah yang terganggu UN-nya karena keterbatasan komputer; 4) UN di SMK 4 Bojonegoro, Jatim, ditunda pada pukul 16.00 WIB karena gagal mengunduh soal bahasa Indonesia dari server komputer; 5) SMA Negeri 1 Sungailiat, Bangka Belitung, gagal melaksanakan UN pada hari pertama karena kendala server dan keterbatasan daya listrik di sekolah.

Mengingat UN sistem CBT merupakan hal baru, menjelang dan saat pelaksanaannya, kemungkinan orang-orang yang berkepentingan dengan UN memiliki kecemasan masing-masing. Kemendikbud cemas jika soal bocor. Guru cemas jika siswa gagal. Siswa cemas jika tidak lulus. Orang tua cemasdan malu pada teman dan tetanggajika anaknya gagal UN.

Melalui UN sistem CBT, masih adakahsekolah yang melakukan ketidakjujuran dengan alasan pamor sekolah akan jatuh jika ada siswa yang tidak lulus UN?

Lompatan kemajuan pelaksanaan UN pada tahun 2015 ini patut diapresiasi, namun UN dengan sistem CBT nampaknya masih sebatas mencegah ketidakjujuran. Hasilnya yang tidak menentukan kelulusan siswa nampaknya adalah untuk membangun demokrasi pendidikan dan mengembalikan otonomi sekolah, namun konten UN untuk membuat siswa memiliki kemampuan analisis belum tersentuh, karena bentuk soalnya masih terbatas pada pilihan ganda, belum dalam berbentuk esei tertutup misalnya.

Mendikbud, Anies Rasyid Baswedan, menganalogikan UN ibarat sebuah papan berukuran 2 x 5 meter yang diletakkan di atas ketinggian 10 meter. Lalu siswa dimintakan untuk melewatinya. Sekarang papan yang sama tidak diletakan di atas ketinggian 10 meter, tapi diletakan di lantai lalu siswa dimintakan untuk melewatinya. Menurutnya walaupun papannya sama, tetapi persepsi terhadap resikonya ketika dilewati berbeda.

Semua sistem UN yang sudah dan UN dengan sistem Computer Based Test (CBT) yang sementara berlaku pasti memiliki keunggulan dan kelemahannya sendiri-sendiri berdasarkan persepsi, asumsi dan argumentasi yang dipertanggungjawabkan. Karena itu, perlu terus dicari sistemUN mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan yang memiliki kelemahan paling kecil dan keunggulan paling banyak.***

Manado, 14 April 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun