Mohon tunggu...
soleman montori
soleman montori Mohon Tunggu... -

Soleman Montori

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

DPRD DKI Lupakan Rakyat, Kejar Tayang Hak Angket

14 Maret 2015   09:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:41 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: SOLEMAN MONTORI.

Sejak usulan hak angket disepakati oleh dewan, kerja rutin DPRD DKI untuk rakyat diabaikan. Konsentrasi mereka lebih fokus ke kejar tayang hak angket. Padahal mereka dipilih oleh rakyat bukan untuk membuat hak angket, tapi untuk memperjuangkan hak rakyat.

Ketua Fraksi Nasdem DPRD DKI, Bestari Barus, mengatakan bahwa kegiatan rutin di dewan terhambat akibat anggota dewan terlalu fokus pada hak angket. “Kunjungan kerja enggak jalan, rapat kerja enggak jalan, ini kan sesuatu yang luar biasa,” kata Bestari.

Hak angket lahir akibat sengketa RAPBD apa asli atau palsu. Namun inti permasalahan sesungguhnya karena DPRD DKI tidak menghendaki transparansi APBD dengan menggunakan sistem e-budgeting. DPRD masih menginginkan “sistem yang gelap”, karena memang siluman tidak mungkin berada di ruang yang terang.

Menurut sejumlah anggota DPRD, sejak tahun 2014 pemprov DKI sudah menggunakan sistem e-budgeting, namun Bappeda DKI masih memungkinkan sejumlah oknum anggota DPRD untuk melakukan kongkalikong dengan cara menambah dan mengurangi atau menggeser kegiatan yang sudah diketuk palu bersama.

Nampaknya gebernur DKI jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, telah mengetahui sistem yang belum terbangun dengan baik itu, sehingga ia membuat sistem baru yang tidak bisa lagi dimasuki seenaknya oleh siluman APBD, atau istilah medsos begal APBD.

Harap dimaklumi jika para begal memprotes e-budgeting karena sebagian dari begal APBD masih gagap teknologi. Abraham ‘Lulung’ Lunggana misalnya secara polos mengaku bahwa ia tidak memiliki twitter dan WhatsApp, tapi belakangan ini ia sudah memiliki, mungkin karena namanya sudah jadi trending topik, sehingga malu disebut gagap teknologi.

Sesuatu yang memalukan di era teknologi yang maju saat ini bila masih ada orang sekelas anggota DPRD yang mengaku e-budgeting tidak bisa dibuka karena telah di lock. Sistem e-budgeting bisadibuka oleh siapa saja, termasuk oleh anggota dewan, namun isinya tidak bisa diutak-atik lagi, kecuali orang tertentu yang dipercaya memegang passwordnya.

Gagat Wahono sebagai pembuat sistem e-budgeting menerangkan kepada tim hak angket bahwa yang membuat sistem e-budgeting pemprov DKI hanya 4 orang, bukan 20 orang sebagaimana beredar di media."Kami enggak jual, Pak. Saya ngomong pengabdian, selama sistem itu bermanfaat," jawab Wahono kepada tim hak angket.

Tim hak angket DPRD DKI nampaknya tidak fokus dan tidak konsisten. Ketika melakukan pertemuan dengan tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) terdapat anggota tim yang mengajukan pertanyaan menyimpang dari substansi. Achmad Nawawi misalnya, ia ‘curhat’ kepada TAPD bahwa anak-anaknya mengancam akan berhenti kuliah jika ia melakukan korupsi sebagaimana dituduhkan Ahok. Namun Nawawi diingatkan oleh Muhammad ‘Ongen’ Sangaji bahwa apa disampaikan Nawawi sudah menyimpan dari substansi. “Tujuan hak angket untuk membuktikan APBD apa asli atau palsu. Itu tugas tim hak angket, tidak termasuk ke e-budgeting dan isi-isinya,” ujar Sangaji ke Nawawi.

Tugas timhak angket untuk membuktikan APBD apa asli atau palsu, itu kata Sangaji, lalu mengapa tim hak angket pada tanggal 11 Maret 2015 mengurung Gagat Wahono selaku konsultan e-budgeting seorang diri? Tapi kemudian e-budgeting tidak dianggap begitu penting. Apa tim malu, karena semula mereka menganggap konsultan e-budgeting 20 orang, tapi nyatanya hanya 4 orang dan mereka menduga diproyekan, tapi nyatanya tidak. Saat itu,Muhammad ‘Ongen’ Sangaji meminta Heru Budihartono selaku kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) beserta jajarannya untuk meninggalkan ruang rapat, sehingga yang ada di dalam ruangan hanya Gagat Wahono seorang diri selain anggota tim hak angket.

Selain pertanyaan Achmad Nawawi, pertanyaan lainnya yang menyimpang dari substansi dikemukakan oleh Maman Firmansyah. “Draft APBD yang ada tulisan ‘nenek lu’ bisa enggak, Pak Sekda, kami dapatkan? Itu yang tersebar di media,” kata Maman.

Hal di luar substansi lainnya adalah rencana tim hak angket memanggil Feronika Tan, istri Ahok. Apa relevansinya? Bukankah hak angket ditujukan ke Ahok yang dituduh oleh DPRD menyampaikan RAPBD ke Kemendagri tidak sesuai hasil pembahasan di DPRD. “Harus panggil nenek gue dong. Kan gue pernah bilang ke mereka pemahaman nenek lu,” kata Ahok menanggapi rencana pemanggilan istrinya.

DPRD DKI nampaknya berjuang keras membela diri dengan menghalalkan segala cara. Saking bersemangatnya mempertahankan harga diri, DPRD lupa bahwa prinsip kekuasaan tidak boleh digunakan sewenang-wenang. Pasti malu dong 106 anggota DPRD DKI kalah dengan Ahok yang hanya seorang diri menyuarakan kebenaran.

Nampaknya DPRD DKI belum menemukan kesalahan, sehingga tim hak angket mencoba menggunakan jurus mabuk, yaitu menakut-nakuti Ahok dengan cara memanggil Feronika Tan, istri Ahok. Rencana pemanggilan Feronika Tan selain menyimpang dari tujuan hak angket, yang melebar kemana-mana, juga merupakan teror tim hak angket kepada keluarga Ahok.

Perseteruan Ahok dan DPRD DKI nampaknya mulai memanas sejak awal Januari 2015. Pada tanggal 3 Januari 2015, Ahok menerima pengajuan anggaran Rp 8,8 triliun dari Bappeda DKI yang ternyata berasal dari DPRD DKI. Anggaran sebesar itu ditujukan untuk sosialisasi Surat Keputusan Gubernur.Ahok melihat usulan di luar akal sehat itu geram. Ia menganggap dana Rp 8,8 triliun untuk sosialisasi SK Gubernur itu tidak masuk akal. Lembar usulan anggaran tak wajar itu dilingkari oleh Ahok dan diberi tulisan‘neneklu.’

"Apa yang mau disosialisasi dari SK Gubernur? Tinggal dilihat doang, makanya gue tulis 'Nenek lu!'," katanya, Selasa, 3 Maret 2015.

Oknum DPRD DKI ternyata tidak hanya mengusulkan Rp 8,8 triliun untuk sosialisasi SK Gubernur, mereka juga menyusupkan anggaran Rp 30 juta untuk buku ‘Trilogi Ahok’ yang diketetahui melalui e-budgeting. Tujuannya adalah untuk menjatuhkan atau sebagai upaya balas dendam kepada Ahok.

Dewan memiliki banyak cara untuk meneror eksekutif. Baik sebelum dan setelah pembahasan RAPBD. Dari berbagai pemberitaan, nampaknya cerita Rp 12, 7 triliun adalah inisiasi dari dewan untuk memperlancar dan mempercepat pembahasan RAPBD DKI, dan untuk menyetujuinya. Tapi karena tidak dipenuhi oleh pemprov DKI, dalam hal ini Sekda selaku ketua TAPD, akhirnya RAPBD DKI tahun 2015 menjadi polemik. Karena diduga dana Rp 12,7 triliun merupakan inisiasi dewan, makanya mereka membatalkan untuk melaporkannya ke Bareskrim Polri.

Merurut Abraham ‘Lulung’ Lunggana, penyuapan senilai Rp 12,7 triliun masih sebatas upaya, tapi belum terjadi, sehinggal batal dilaporkan ke Bareskrim, karena memang tidak ada buktinya. Bila benar dilaporkan, pasti akan menjerat DPRD sendiri. Hal inilah kemungkinan besar membuat DPRD DKI berang, sehingga mereka bernafsu menyetujui hak angket.

Pelaksanaan hak angket cenderung dipolitisasi. Memunculkan akrobat politik yang tidak beretika, membohongi publik dan mengingkari mandat rakyat DKI pada pemilu tahun 2014 lalu.

DPRD mengangketkan Ahok karena dianggap tidak beretika, tapi anehnyaada anggota DPRD memaki Ahok dengan sebutan yang rasial ‘Cina anjing.’ Jadi, wajar dong Ahok menyebut dewan sebagai oknum, bukan sebagai dewan yang terhormat sebagaimana dikeluhkan oleh ketua DPRD DKI, Prasetio Edi Marsudi.

Penyelidikan tim hak angket masih berlangsung, namun anehnya ketua tim hak angket, Muhammad ‘Ongen’ Sangaji, sudah membuat kesimpulan bahwa RAPBD yang dikirim oleh pemerintah provinsi DKI ke Kemendagri adalah palsu. Tim hak angket tidak mau menerima penjelasan Sekda DKI selaku ketua TAPD bahwa RAPBD yang dikirim ke Kemendagri adalah RAPBD yang telah disetujui oleh DPRD. Mungkin kesimpulannya akan lain jika dugaan pelumas yang sempat diangkat oleh DPRD senilai Rp 12,7 triliun, yang seolah-olah merupakan iniasiatif eksekutif dikabulkan.

Sejak awal kisruh sudah terlihat siapa yang membela 10 juta lebih rakyat DKI, Ahok atau anggota DPRD DKI? Menurut hasil survei Cyrus Network yang dirilis di Jakarta pada hari Kamis, 12 Maret 2015 bahwa 63,4 persen responden menilai Ahok lebih dipercaya. Sebanyak 8,6 persen responden masih percaya DPRD DKI, dan hanya 2,51 persen responden mendukung hak angket. Sebanyak 54,8 persen warga DKI Jakarta merasa tidak terwakili oleh DPRD dan hanya 9,7 persen warga merasa terwakili oleh DPRD.

Publik menilai hak angket tidak pro rakyat, juga hak angket membuat hubungan legislatif dan eksekutif bagai kucing dan tikus yang berada dalam satu rumah, dan pelaksanaannya menjadi tontotan memuakkan (repugnant) bagi rakyat.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun