Mohon tunggu...
soleman montori
soleman montori Mohon Tunggu... -

Soleman Montori

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi dan Pilkada Bolak-balik: Langsung, Tidak, Langsung

20 November 2014   22:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:17 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DEMOKRASI DAN PILKADA BOLAK BALIK: LANGSUNG, TIDAK, LANGSUNG

Oleh: Soleman Montori

Demokrasi, adalah kata yang tidak netral, multi tafsir, bermakna variatif, evolutif dan dinamis. Tiap orang memiliki definisi berbeda tentang makna demokrasi. Ada yang memaknai demokrasi sebagai tujuan dan yang lainnya memaknai sebagai alat. Demokrasi sebagai alat adalah piranti pemersatu keberagaman yang tidak sempurna.

Walaupun demokrasi sebagai alat yang tidak sempurna, namun sampai kini belum ada piranti lain yang bisa mempersatukan keberagaman selain demokrasi. Demokrasi merupakan alat ampuh melawan otoritarianisme, totalitarianisme dan sistem anti demokrasi lainnya. Runtuhnya rezim komunis totaliter di Uni Soviet dan negara-negara Eropah Timur adalah contoh keberhasilan penerapan demokrasi.

Akal budi dan akal sehat sangat penting sebagai dasar demokrasi. Partisipasi, representasi dan akuntabilitas hanya bisa memiliki ruang bila berada dalam alam demokrasi. Kini makna demokrasi telah meluas dan diidentikan dengan melindungi kebebasan warga, menghormati martabat manusia, kesamaan hak, keadilan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Banyak orang berharap dari demokrasi.

Demokrasi tidak hanya di dalam bidang politik. Demokrasi hampir berada dalam semua aspek kehidupan. Tapi seringkali demokrasi hanya dipahami sekedar ritual proses pergantian pemimpin melalui pemilu.

Demokrasi di Indonesia mulai mekar sejak tumbangnya rezim orba, namun praktek kehidupan yang tidak demokratis pada rezim orba meninggalkan beban pada pemerintahan setelahnya, bahkan sampai kini masih menyisakan akar-akar permasalahan, dan sepertinya masih ada politisi yang ingin bernostalgia.

Sejak rezim SBY hingga kini dapat dikatakan kehidupan bangsa Indonesia sudah demokratis. Demokrasi prosedural relatif baik. Namun demokrasi secara substansial masih timpang. Banyak faktor penyebabnya, di antaranya masih terdapat sejumlah politikus bersembunyi di balik pernyataannya yang mempermainkan perasaan dan emosi rakyat. Mereka tidak menegaskan pendirian dan pendapat mereka secara lugas dan tegas, tapi menyampaikan pernyataan yang mengalir bersama dengan pendapat rakyat.

Kendati demokrasi dapat menjanjikan kehidupan yang lebih baik, namun ada sebagian kecil orang yang tidak mau mengakui dan menerimanya. Mereka menganggap konsep demokrasi tidak dapat dipisahkan dari nilai, pandangan dan cara hidup negara Barat seperti individualisme, kapitalisme dan liberalisme. Padahal dalam realitas kehidupan sehari-hari, mereka telah mempertontonkan kehidupan ala Barat, yang mereka sendiri tidak kehendaki.

Bangsa Indonesia yang beragam suku, agama, dan budaya, hanya bisa dipersatukan oleh demokrasi Pancasila. Sejumlah bentuk demokrasi yang berusaha dipaksakan untuk menggantikan Pancasila terbukti membuat bangsa Indonesia selalu gaduh.

Demokrasi Pancasila adalah suatu paham yang bersumber dan digali dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Demokrasi Pancasila tidak menganut tirani minoritas dan dominasi mayoritas, tetapi mengutamakan musyawarah mufakat tanpa oposisi.

Belum dihayati dan dipahami sepenuhnya makna demokrasi Pancasila telah mengakibatkan DPR RI periode 2014-2019 terbelah dalam dua kepentingan. Pembelahannya diawali dengan mosi tidak percaya dan pembentukan pimpinan DPR tandingan sebagai wujud kekecewaan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) terhadap Koalisi Merah Putih (KMP). Masing-masing kubu mengkoar-koarkan kekhawatiran. KMP kuatir dengan banyaknya cabang kekuasaan berada di tangan Presiden bahkan terkesan cemburu. Hal ini terjadi karena sebagian politisi anggota KMP tidak memahami atau mungkin buta terhadap sistem pemerintahan presidensial. Sedangkan KIH kuatir bila pemerintahan yang didukungnya tidak berumur panjang.

KMP mengalami masa euphoria kebebasan politik bahkan ecstasypolitik. Mereka tidak menyebut diri oposisi, karena oposisi tidak dikenal dalam demokrasi Pancasila; juga tidak menyebutcheck and balances, tapi memunculkan kosa kata baru dengan sebutan penyeimbang. Mereka artikan penyeimbang adalah mendukung pemerintah apabila pro kepada aspirasi dan kepentingan rakyat, dan dimaknai tidak mendukung jika program pemerintah dinilai tidak berpihak kepada rakyat. Benarkah seperti itu? Entahlah. Tapi yang terjadi dan dipertontonkan oleh para politisi senayan saat ini bukan sebagai wakil rakyat, tetapi sebagai wakil parpol dan kelompok.

Keegoisan KMP tidak menyisakan satu pun pimpinan DPR untuk KIH merupakan contoh nyata belum dijalankan sepenuhnya demokrasi Pancasila yang mengedepankan musyawarah mufakat. Keduanya sama-sama ingin dihormati. Anehnya rasa hormat yang diinginkan hanya tertuju pada satu kata: Kekuasaan. Namun untuk meraihnya, baik KMP maupun KIHmelakukannya dengan cara yang berada di luar batas kewajaran dan membahayakan demokrasi. Keduanya tidak menyadari bahwa demokrasi bukan piranti pemuas kekuasaan.

Sejak dilantik, kinerja DPR bukan diawali dengan prestasi, tapi banyak diberitakan dengan setumpuk permasalahan yang diciptakan sendiri. Bunyi gerutu baik dari kubu KMP maupun KIH tidak lagi tersembunyi, dan kepentingan sempit telah merajai gedung DPR. Perilaku kekanak-kanakan pun dipertontonkan seakan meminta rakyat untuk menyelesaikannya.

Tanggal 17 November 2014, KMP dan KIH mencapai kata sepakat untuk menyudahi perseteruan yang panjang dan melelahkan itu. Keduanya sepakat mengenyahkan kepentingan sempit dan sesaat yang berlindung di balik UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3. Hasil kesepakatan menghapus beberapa ayat di dalam pasal 74 dan 98, yang mengatur hak interpelasi, hak menyatakan pendapat, dan hak angket. Juga mencabut mosi tidak percaya, dan KIH mendapat 21 kursi alat kelengkapan dewan. Semuanya demi kekuasaan. Hendaklah kesepakatan yang dicapai menjadi kaidah keadilan, bukan menjadi penghalang terhadap hal yang baik.

Demi mencapai hasrat kekuasaan, undang-undang pilkada terus berganti dari waktu ke waktu. Pada awal kemerdekaan melalui UU Nomor 1 Tahun 1945, yang diangkat menjadi kepala daerah adalah kepala daerah yang telah memimpin pada periode sebelumnya. Hal ini dapat dimaklumi karena situasi politik, keamanan, dan hukum ketatanegaraan pada saat itu belum baik.

Tiga tahun kemudian dilakukan pembaharuan melalui UU Nomor 22 tahun 1948. Pada pasal 18 dinyatakan bahwa calon Gubernur diangkat oleh Presiden berdasarkan usul DPRD. Sedangkan bupati diangkat oleh Menteri Dalam Negeri berdasarkan usul DPRD kabupaten.

Dalam perkembangan selanjutnya,mekanisme dan prosedur pengangkatan kepala daerah diatur melalui Tappres Nomor 6 Tahun 1959. Salah satu klausulnya menyatakan bahwa kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri.

Enam tahun kemudian melalui UU Nomor 18 Tahun 1965, kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri berdasarkan usul yang diajukan oleh DPRD.

Sembilan tahun kemudian diubah lagi melalui UU Nomor 5 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa kepala daerah diangkat oleh Presiden dari calon kepala daerah yang memenuhi syarat. Calon kepala daerah sebelum diangkat oleh Presiden terlebih dahulu diseleksi oleh DPRD.

Pembaharuan selanjutnya dilakukan pada era reformasi melalui UU Nomor 22 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa kepala daerah dipilih dan diangkat sepenuhnya oleh anggota DPRD. Lima tahun kemudian rezim pemilihan kepala daerah oleh DPRD diubahmelalui UU 32 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa kepala daerah dan wakilnya dipilih secara langsung oleh rakyat.

Namun pilkada secara langsung oleh rakyat,melalui sidang paripurna 26 September 2014, dihilangkan oleh DPR dan dikembalikan menjadi kewenangan DPR untuk memilih kepala daerah. Hal ini menimbulkan gonjang-ganjing politik dan kontroversi di tengah masyarakat, sehingga mendorong mantan Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, pada awal Oktober 2014 menerbitkan Perppu, agar kepala daerah tetap dipilih langsung oleh rakyat.

Banyak pihak berharap agar demokrasi Pancasila dilaksanakan secara murni dan konsekwen, dan pilkada jangan bolak-balik: langsung, tidak, langsung; tetapi pilkada yang demokratis, yang dikehendaki mayoritas rakyat, yakni pilkada langsung. Sol***

Manado, 20 November 2014

Penulis,

SOLEMAN MONTORI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun