Oleh: SOLEMAN MONTORI
Mengapa Budi Gunawan menghadapi banyak tekanan? Tekanan internal dan eksternal dari berbagai arah benar-benar membuat Budi seakan tak berdaya dan tak bisa membela. Ibarat tinju, Budi sudah menang, namun ia kalah KO di ronde terakhir. Penyebabnya karena Budi Gunawan tidak diinginkan oleh kelompok penekanmenjadi calon Kapolri, lalu dibongkar-bongkarlah file kelemahannya dan didapati Budi memiliki rekening gendut. Dari mana asalnya? Keuangan negara atau….!? (masih dirahasiakan oleh KPK).
File Budi Gunawan dibuka karena banyak kepentingan yang bermain dalam rencana pergantian Kapolri. Kelompok kepentingan tersebut mulai dari LSM, elit, internal kepolisian dan eksternal; semuanya memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Indonesia Corruption Watch (ICW) misalnya mengaku kecewa terhadap Presiden, Joko Widodo, yang mencalonkan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri. "Ini menunjukkan Jokowi tutup mata ketika memilih Kapolri. Ini kita nilai sebagai suatu skandal politik yang dilakukan Jokowi," ujar Koordinator Divisi Hukum ICW, Emerson Yuntho. Namun Emerson malu menyebut secara terang-terangan calon kapolri yang diinginkan ICW.
Mantan kepala PPATK, Yunus Husein, juga bersemangat menolak Budi Gunawan yang diajukan oleh Presiden Jokowi sebagai calon Kapolri. Di dalam twitternya @YunusHusein, Minggu (11/1/2015), ia berkicau,“Calon Kapolri sekarang pernah diusulkan menjadi menteri. Tetapi pada waktu pengecekan info di PPATK & KPK, yang bersangkutan mendapat rapor merah alias tidak lulus.”
ApakahYunus Husein melanggar rahasiaPPATK? Apakah ia melakukannya untuk kepentingan publik atau untuk kepentingan dirinya sendiri atau untuk orang lain? Hanya dia yang bisa menjawabnya.
Mengejutkan! Kalimat yang menghinggapi pikiran banyak orang ketika KPK tanggal 13 Januari 2015 menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka gratifikasi. Menurut ketua KPK, Abraham Samad, melalui pesan singkatnya bahwa kalau pemerintahan tidak mau melihat negara dan bangsa ini menjadi baik, memang tidak diperlukan pendapat dari KPK dan PPATK.
Sepertinya KPK dan PPATK mulai menyimpang dari tugas pokok dan fungsi mereka. Keinginan agar selalu dilibatkan dalam menentukan pejabat negara telah membuat KPK dan PPATK ingin menambahkan tugasnya sebagai lembaga screening.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S. Pane, mengatakan bahwa penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka menunjukkan KPK bermain politik praktis dalam melakukan pemberantasan korupsi atau penegakan hukum.
Neta menilai bahwa KPK lebih mengedepankan kesewenang-wenangan dan arogan serta tidak taat terhadap proses hukum. "Belum ada proses dan pemeriksaan saksi-saksi, KPK dengan arogan menetapkan BG sebagai tersangka," ujarnya.
Komjen Budi Gunawan senada dengan Neta. Menurutnya, sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka selain diperlukan dua alat bukti, juga perlu dilakukan pemeriksaan terhadap saksi dan alat bukti lainnya. “KPK abaikan asas praduga tak bersalah,” ujarnya.
Bila kita membandingkan saat KPK menangani kasus Djoko Susilo, sejumlah saksi diperiksa. Bahkan, Djoko Susilo terlebih dahulu dijadikan saksi sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Sebaliknya, Budi Gunawan langsung dijadikan tersangka sehari sebelum pelaksanaan fit and proper test di DPR.
Sangkaan terhadap Budi Gunawan menerima gratifikasi memunculkan sejumlah pertanyaan di tengah masyarakat. Kalau Budi Gunawan disangkakan menerima gratifikasi, berarti pihak yang memberikan gratifikasi juga harus ditetapkan sebagai tersangka. Namun, KPK hanya menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka.
Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka gratifikasi menimbulkan banyak spekulasi. Dari sekian banyak spekulasi, ada yang menduga bahwa kemungkinan besar jeruk minum jeruk, yaitu orang yang tahu tentang file Budi diinternal kepolisian, lalu minta tangan KPK menghadang langkah Budi menjadi calon Kapolri.
Saat KPK menetapkan Budi sebagai tersangka, KPK tidak menjelaskan kepada masyarakat, apakah gratifikasi yang disangkakan kepada Budi Gunawan merugikan keuangan negara atau tidak?
Akankah Budi Gunawan mengikuti antrian lama memasuki hotel prodeo di KPK seperti Suryadharma Ali (SDA) dan Hadi Poernomo?
Kiprah KPK memberantas berbagai tindak pidana korupsi patut diapresiasi selama tidak memiliki interaksi yang kuat dengan stakeholder politik dan atau kelompok kepentingan. Penangkapan pejabat sipil mulai dari anggota DPR, DPRD, bupati, walikota, gubernur jenderal polisi, menteri dan hakim, semua telah dilakukan oleh KPK dengan “tanpa cacat.” Namun, publik belum melihat KPK menangkap jenderal TNI yang melakukan tindak pidana korupsi. Apakah di internal TNI tidak ada korupsi?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H