Mohon tunggu...
soleman montori
soleman montori Mohon Tunggu... -

Soleman Montori

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Presiden Jokowi, Orangnya Rakyat

3 Februari 2015   20:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:53 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: SOLEMAN MONTORI.

Terpilihnya Jokowi sebagai Presiden memberikan banyak pengalaman dan cerita yang menarik, yang dilaluinya dengan penuh lika-liku dan dinamika. Namun, ia berani menantang kecilnya peluang untuk meraih harapan. Ia bukan lahir dari tengah keluarga berdarah biru, juga bukan anak orang kaya, tapi anak rakyat biasa yang terus bekerja, bekerja dan bekerja untuk berjuang dengan tidak mengurangi harapannya.

Jalan hidupnya tidak bisa dipahami oleh mereka yang malas. Ia berani mengambil keputusan dan mengambil resiko. Argumen lama yang menghabiskan waktu bahwa hanya orang tertentu bisa sukses di republik yang alamnya sangat kaya ini tidak berlaku baginya. Ia sebagai anak orang biasa telah membuktikannya bahwa untuk mencapainya adalah dengan bekerja, bekerja dan bekerja keras.

Kerendahan hati dan kesederhanaan, adalah kekuatannya. Ia telah membuktikannya dan terus menjaganya agar tetap hidup. Dua kekuatan inilah yang membuatnya bisa hidup bebas dari ketakutan dan kekurangan. Walaupun telah menempati istana, kerendahan hati dan kesederhanaan hidupnya tidak ditinggalkan. Itu bukan kedok, tapi sifat yang telah mendarahdaging dalam dirinya. Celana hitam dan kemeja putih kesayangannya membuatnya gampang dikenali.

Ia adalah orangnya rakyat yang mendengar semua suara rakyat, termasuk rakyat yang belum ia dapatkan dukungannya. Di dalam dirinya tidak ada keraguan bahwa mereka yang berbeda dengannya adalah orang yang memiliki aspirasi dan tujuan yang sama, yaitu bahwa kepentingan bersama jauh lebih kuat daripada kekuatan-kekuatan yang menceraiberaikannya.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai Presiden, ia tidak banyak berada di belakang meja. Ia lebih senang blusukan untuk mendapatkan informasi langsung dari rakyat. Karena baginya, rakyat adalah gudangnya informasi; tempat untuk mendengarkan aspirasi dan mengenal rakyat dari dekat.

Blusukan dilakukannya karena ia tidak menghendaki kepentingan untuk rakyat diungkapkan oleh pembisik di belakang pintu tertutup yang memberikan informasi bias. Blusukan dipilihnya karena ia menyadari bahwa banyak harapan yang dipidatokan tidak mampu memenuhi keinginan dan menghapus rasa curiga. Karena itu, baginya jika bangsa Indonesia ingin maju, antara satu dengan yang lainnya harusterbuka; melakukan apa yang dikatakan dan mengatakan apa yang dilakukan; bukan memupuk rasa takut dan saling tidak percaya.

Sebelum ia terpilih menjadi Presiden, banyak orang meragukan kemampuannya bahkan menolaknya dengan disertai cemoohan. Ruhut Sitompol menyebutnya klemer-klemer. Fahri Hamzah menyebutnya gila. Fadli Zon membombardirnya dengan puisi-puisi yang menghina, dan Obor Rakyat membangun opini merendahkan harkat dan martabatnya. Namun kerendahan hatinya membuat mereka yang menghinanya bertekuk lutut dan malu; sebagiannya berbalik mendukung dan menjadi sahabat.

Manusia adalah makhluk aneh. Kebenaran dan kesalahan bercampur aduk pada orang yang sama, bahkan dalam tindakan yang sama. Contohnya pada saat menjelang pemilihan Presiden, kalimat “Jokowi-JKadalah kita” yang memiliki daya tarik bagai magnet itu dalam waktu belum seratus hari berubah menjadi “Jokowi bukan kita.”Penyebabnya, sebagian rakyat menilai secara subyektif bahwa Jokowi tidak lagi berpihak kepada rakyat.

Benarkah Jokowi tidak lagi berpihak kepada rakyat? Itu adalah hak mereka yang mengungkapkannya. Namun, ini bukan opini yang harus diperdebatkan, karena bukan fakta yang harus dihadapi. Faktanya, Jokowi tidak dipilih oleh wakil rakyat (DPR), tapi dipilih langsung oleh rakyat, dan sampai kini ia tetap orangnya rakyat. Apa yang dituduhkan sepertinya bersifat kanak-kanakandan tidak beralasan. Wajar jika Menko Polhukam, Tedjo Edhy Purdijatno mengatakan bahwa orang yang menuduh “Jokowi bukan kita” adalah rakyat yang tidak jelas.

Kerendahan hati Jokowi, terlihat ketika ia mengampuniMuhammad Arsyadyang mencemarkan nama baiknya. Diakui atau tidak, perbuatan baik Jokowi yang tidak menyimpan dendam itu mampu menginspirasi banyak orang, termasuk mereka yang sinis.Cemoohan, fitnah dan adu domba yang dialamatkan kepadanya justru menjadi bumerang bagi orang yang melakukannya. Mereka adalah orang-orang yang melupakan kewajibannya untuk memperlakukan orang lain dengan penuh harga diri dan rasa hormat.

Presiden Jokowi meyakini bahwa manusia tidak harus kaya materi untuk mencapai potensinya. Baginya, kerendahan hati sudah cukup menjadi modal untuk membangun dan mewarisi nilai-nilai kehidupan. Kerendahan hatinya tercermin dalam sikapnya yang pro rakyat. Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtra (KKS), adalah wujud kecintaannya kepada rakyat yang anaknya tidak bisa sekolah, tidak bisa berobat, dan tidak bisa menikmati hidup layak karena tak ada yang peduli.

Jokowi bukan orangnya KPK, bukan orangnya Polri, bukan orangnya orang kaya, ia adalah orangnya rakyat dan berpihak untuk semua. Ia adalah pemersatu, bukan dinding pemisah yang mendatangkan kebencian sebagai ganti pengharapan. Bicaranya tidak banyak, itu bukan dibuat-buat, tapi merupakan sifatnya. Ucapannya singkat dan penuh arti. Patut diapresiasi dan didukung pesan revolusi mentalnya bahwa para penegak hukum jangan sok berada di atas hukum.

Jokowi tidak menghendaki para penegak hukum dan dirinya didorong oleh orang-orang yang mengklaim diri pakar ini dan itu untuk menegakan hukum dengan cara melawan hukum. Tekanan atas dirinya terkait kisruh KPK-Polri, ia hadapi dengan tidak banyak berkata karena itu memang sifatnya, tetapi langsung berbuat dengan membentuk tim 9. Tim 9 dibentuk karena ia menyadari bahwa tidak ada satu negara pun di dunia ini yang mampu mengalahkan ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan(ATHG) tanpa bantuan orang lain.

Tanpa diminta atau didesak oleh siapa pun, Jokowi telah mengetahui bahwa di republik ini pasca reformasi, arus bahaya kata-kata akibat mengikuti hawa nafsu mengalir lebih cepat dari kecepatan usaha-usaha untuk mengendalikannya.

Sabar, sabar, sabar, adalah kata yang sering diucapkan oleh Presiden Jokowi ketika pers menanyakan ujung penyelesaian kisruh KPK-Polri.Dalam menyikapi kekisruhan KPK-Polri, sebagian masyarakat telah kehilangan kesabarannya. Di sana sini terdapat suara mencibir dan mendesak Presiden Jokowi untuk mengabaikan hukum sebagai panglima. Sebagian sumber suara itu adalah orang yang mengerti tentang hukum itu sendiri. Pernyataan dan saran mereka cenderung berpihak, menambah kekisruhan dan kebencian ketimbang mendatangkan solusi masalah.

Ketegasan Presiden Jokowi untuk menyelesaikan kekisruhan KPK-Polri tidak bisa disamakan dengan ketegasannya saat ia memerintahkan penenggelaman kapal pencuri ikan, juga tidak bisa disamakan dengan ketegasannya ketika ia memerintahkan untuk menghukum mati enam orang napi narkoba, namun pilihan ketegasannya adalah menyelamatkan kedua-duanya (KPK-Polri) melalui proses hukum yang berkeadilan, bukan melalui opini dan persepsi yang berpihak.

Keinginan dan desakan sebagian kecil rakyat agar Jokowi berpihak kepada KPK dan memberikan hak imunitas kepada komisioner KPK yang diduga bermasalah hukum, itu bukan berarti mereka tidak peduli dengan masalah bangsa ini, tapi mereka tidak mengerti. Mereka membenarkan diri dengan cara meniadakan hukum dan menyalahkan orang lain. Memang, ketakutan terhadap hal yang tidak dimengertimudah menyingkirkan rasa takut akan kebenaran.

Penyelesaian masalah hukum melalui proses hukum berkeadilan adalah cara beradab untuk memenangi hati dan pikiran rakyat yang mendambakan kehidupan bermartabat dan berpengharapan.

Ketika hukum dibengkokan dan berada dalam bahaya, kita harus memiliki keberanian untuk menjaganya tetap tegak. Hal inilah yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, yaitu ia hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat, khususnya rakyat yang patuh dan taat pada konstitusi. Orang yang terlibat narkoba, koruptor, dan pelaku tindak kejahatan lainnya adalah rakyatnya juga, namun bukan dirinya dan ia tidak tunduk kepada mereka.

Presiden Jokowi baru dalam tiga bulan lebih menduduki kursiyang nyaman. Ia telah berada dalam ruang yang terang, sejuk dan menyenangkan, namun ia tetap sederhana, rendah hati dan bertutur kata seperlunya. Semua yang menekan dilihatnya sebagai sesuatu yang objektif untuk mengingatkan dirinya bahwa ia adalah orangnya rakyat.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun