[caption id="attachment_66194" align="alignleft" width="126" caption="Korban Seksual"][/caption]
Sering kita mendengar tentang beberapa kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak dibawah umur, baik melalui media cetak maupun media elektronik, yang seharusnya tidak pantas diperoleh oleh anak.
Kekerasan seksual pada anak umumnya banyak terjadi pada anak perempuan yang berusia 10 – 15 tahun. Anak pada usia ini secara psikologis memiliki minat dan need (kebutuhan) yang sangat kuat untuk mencoba sesuatu yang belum diketahuinya. Pada usia ini juga anak gampang dan lebih mudah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan norma dan aturan yang telah ada. Kondisi psikologis anak pada usia ini sangat labil dan belum dapat berpikir tentang dampak terburuk yang akan terjadi pada dirinya. Sehingga orangtua sering merasa sangat kewalahan dalam mendidik anaknya.
Kekerasan seksual biasanya menjadi rahasia keluarga yang harus disimpan rapat dan juga sering disebut sebagai aib yang dapat meruntuhkan nama baik dan repuitasi keluarga yang telah dibangun selama ini.
Kasus kekerasan seksual pada anak, umumnya sipelaku adalah orang-orang yang dekat dan dipercaya oleh anak, baik berasal dari keluarga, tetangga, teman, pacar bahkan gurunya sendiri.
Adapun motifnya bermacam-macam, ada karena dengan rayuan, bujukan, diberikan iming-iming misalnya uang, pakaian, handphone, makanan dan benda-benda lainnya yang menarik bagi si anak. Sehingga anak akan mudah untuk mengikuti apa yang diperintahkan padanya.
Ada 4 (empat) fase yang menyangkut kekerasan seksual terhadap anak, baik yang terjadi di dalam maupun di luar keluarga.
1. Perjanjian dan Kesepakatan
Pelaku menjanjikan sesuatu kepada korban sehingga korban akan merasa tertarik dengan tawaran yang dijanjikan padanya yang disertai dengan rayuan dan bujukan, sehingga korban mudah tersugesti untuk melakukan perbuatannya. Kebanyakan anak yangmudah tersugesti dengan bujukan, rayuan dan dengan iming-iming merupakan anak-anak yang berasal dari keluarga yang lemah ekonominya dan anak yang mendapatkan pola asuh kurang tepat dari orangtuanya.
2. Rahasia dan Ancaman
Setalah terjadi kekerasan seksual, maka si pelaku akan mengatakan “Jangan bilang siapa-siapa!”. Biasanya juga disertai ancaman, sehingga anak-anak merasa takut dan bersalah jika melanggarnya. Dengan demikian anak akan terus berusaha untuk menyimpan dan merahasiakan yang telah dialaminya.
3. Penyingkapan
Biasanya terjadi secara tak disengaja, atau tiba-tiba misalnya anak sudah lelah dicabuli lalu berontak, ketahuan anak lain, ketahuan masyarakat, menderita sakit, atau hamil.
Dengan pola semacam ini, tak heran kalau kekerasan seksual terhadap anak-anak umumnya baru terungkap setelah terjadi berulang-ulang, bahkan bisa bertahun-tahun.
4. Efek dan Pendampingan
Setelah terjadinya penyingkapan, maka akan menimbulkan dampak dan efek fisik dan psikis terhadap korban disertai akan perlunya pendampingan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi pada korban.
Secara psikologis anak korban kekerasan seksual biasanya akan memiliki self-esteem (rasa harga diri) rendah, depresi, memendam perasaan bersalah, sulit mempercayai orang lain, kesepian, sulit menjaga dan membangun hubungan dengan orang lain, tidak memiliki minat terhadap seks atau memiliki kecenderungan tinggi terhadap seks terhadap lawan jenis.
Karena itu anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual berhak dan harus mendapatkan pendampingan dan terapi psikologi. Tujuannya adalah supaya mereka dapat mengatasi beban kejiwaan yang dialaminya.
Bagi orang tua yang perlu harus diperhatikan yang utama dalam melakukan tindakan preventif adalah pada fase pertama tersebut yaitu fase perjanjian.
Oleh sebab itu orang tua harus memberikan pola asuh yang tepat terhadap anak agar jangan mudah untuk dijanjikan sesuatu oleh orang lain.
[caption id="attachment_66197" align="alignright" width="130" caption="Keluarga Bahagia"][/caption]
Tips mendidik dan menjaga anak dari korban kekerasan seksual.
· Sedini mungkin anak harus dikenalkan pada tubuhnya sendiri; mana bagian tubuhnya yang boleh diperlihatkan pada/dipegang oleh orang lain dan mana yang tidak.
· Ajari anak untuk mengenal nama bagian tubuhnya sendiri sehingga dia dapat menjelaskan dengan tepat apa yang terjadi pada dirinya. Ini penting untuk kesaksian.
· Anak harus dibiasakan untuk menolak perlakuan orang lain yang menyebabkan dia merasa tidak nyaman/terganggu/sakit. Kalau ada perlakuan yang tak wajar terhadap dirinya, anak dibiasakan untuk segera bercerita kepada orang tua, guru, atau keluarga yang lain. Anak juga harus dilatih agar tidak mudah percaya pada orang lain atau diajak main di tempat yang sepi.
· Sebagai orang tua, perhatikanlah sikap dan kebiasaan anak sehari-hari. Bila ada perubahan, seperti menjadi penakut, mudah marah,hiperaktif, suka merusak barang-barang atau menjadi pemalu dan menarik diri daripergaulan, segeralah lakukan pengamatan dan tanyai anak. Percayailah apa yang dikatakan oleh anak. Berilah perasaan nyamandan dukungan kepada anak atas apa yang telah dikatakannya.
Yang terpenting tanamkan pada anak supaya tidak mudah menerima rayuan dan iming-iming dari siapapun serta menghidarkan perilaku anak yang mungundang stimulus bagi orang lain. Kedekatan dan keterbukaan antara anak - orangtua sangat membantu memperkuat resiliensi (ketahanan mental) anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H