Sebagian dari kita mungkin masih ingat ketika Susilo Bambang Yudoyono (SBY) mendapat ‘anugerah’ aniaya politik dari Taufiq Kiemas suami Megawati Sukarno Putri yang kala itu Presiden RI. Ucapan taufik Kiemas yang mengatakan SBY seperti anak kecil di tangkap dengan amat baik dan momen yang tepat oleh SBY yang kala itu menjabat sebagai menteri Menkopolkam.
Menjelang pemilu 2004 SBY menyatakan ketertarikannya untuk ikut pada pemilihan presiden, pernyataan tersebut membuat Megawati, Ibu Presiden, kecewa, karena secara etika politik SBY harus mundur dari jabatan menteri di kabinetnya. Di tengah memanasnya suhu politik sekretaris Menkopolkam mengeluh tentang SBY tidak pernah diiukutkan rapat kabinet. Mendengar pernyataan itu Taufiq Kiemas berkomentar; Mestinya dia (SBY) datang ke Ibu Presiden, tanya, kok enggak diajak (rapat kabinet). Bukannya ngomong di koran, seperti anak kecil. Masa jenderal bintang empat takut ngomong ke presiden,".
SBY kemudian mundur dari menteri kabinet Megawati. Ia berhasil mengunduh simpati dari jutaan rakyat Indonesia. Nuansa politik Indonesia yang cenderung mengerubung orang yang teraniaya, membat SBY menjulang tinggi sebagai kandidat Presiden. Partai Demokrat yang sedang mencari figur sebagai pendongkrak partai berkelebat menyambut SBY. Gayung pun bersambut, maka Partai Demokrat dan SBY melenggang menjadi penguasa Indonesia secara beruntun dua periode kekuasaan presiden. Apakah di tahun 2014 Partai Demokrat berhasil mengusung calon presidennya menjadi presiden?
Setidaknya masih ada waktu setengah tahun lebih bagi Partai Demokrat untuk mengiklankan figur Calon Presidennya setelah SBY tak lagi bisa di calonkan untuk periode depan. Jalan dan keputusan politik yang diambil oleh politikus sering tak terduga oleh orang awam dan sering mengejutkan nuansa politik. Penuh intrik dan kamuflase.
Membangun pondasi politik bagi sebuah partai adalah sebuah kegiatan yang terus menerus di lakukan agar kekuasaan yang diperolehnya tetap langgeng dan semakin kuat. Tak ada politikus yang rela kekuatan kekuasaannya semakin surut dan terus keropos. Ketika demokrasi menjadi alat untuk memperoleh kekuasaan dan demokrasi adalah hal mengenai suara terbanyak, maka berbagai cara untuk memperoleh empati dan simpati bagi para calon pemilih dilakukan dengan berbagai cara. Menyadari tentang aniaya politik yang pernah diterima dari Taufiq Kiemas dan dapat merubahnya menjadi keberuntungan, nampak SBY ingin mengulang sukses lagi. Ia berusaha menggaungkan kalau dirinya sering mendapatkan fitnah, sering ‘dipukuli’, sering ‘dikeroyok’, ditusuk dari belakang, dsb. Ungkapan-ungkapan sepertinya disajikan agar keberuntungan dari sebuah aniaya politik yang kebetulan pernah diterimanya bisa berbuah manis seperti saat pemilu tahun 2004. Ia ingin mempertahankan partai dan dinasti politiknya tetap bertahan dan mendapat simpati, dalam kondisi apapun.
Ketika hal-hal yang menurut orang lain biasa-biasa saja, setidaknya dalam dunia politik, atau memang terjadi, kemudian terus didramatisir untuk menarik ‘perhatian’ dari pendengarnya, bisa jadi orang kemudian menyebutnya cengeng. Cengeng biasanya dikaitkan dengan anak kecil. Anak kecil biasanya wadul (melapor) pada orang tuanya tentang kejadian-kejadian kecil yang tak perlu dipermasalahkan, tentang temannya yang nggak nurut kemauannya, tentang temannya yang tak setuju dengan idenya, tentang temannya yang sedikit-sedikit nangis, dsb, dan dramatisir dengan bumbu mimik penuh kekesalan.
Dan, nampaknya SBY sedang ‘membuktikan’ jika ucapan Taufiq Kiemas sembilan tahun yang lalu itu ada benarnya. Ia kerap kali mengatakan sering mendapat aniaya politik. Seringnya mengabarkan tentang aniaya politik yang terimanya, terlepas dari benar atau tidak apa yang Ia terima, berubahlah ‘curhat’-nya ke dalam nuansa cengeng. Dan jika ‘cengeng’ itu telah benar-benar terbaca oleh voter, ini akan menjadi duri yang menggembosi partai dan dinasti politiknya. Karena sifat cengeng hanya patut melekat pada anak kecil, bukan pada seorang pemimpin atau seorang politikus yang berkepentingan dengan kekuasaan.
Semoga ini sebuah kecerobohan analisis saya. Maaf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H