Mohon tunggu...
Soleh Djayim
Soleh Djayim Mohon Tunggu... karyawan swasta -

hanya seorang staf rendahan (kuli) di sebuah BUMN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

curang

27 Juni 2016   15:24 Diperbarui: 27 Juni 2016   15:24 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siapa yang tak senang jika memperoleh kemenangan. Bisa menggungguli orang lain, bisa mengalahkan dan membuktikan kalau kita lebih superior dari orang sekitar atau dari siapapun. Perasaan bahagia atau senang  yang timbul dan muncul saat menjadi pemenang di bidang apapun adalah manusiawi. Perjuangan dan pengorbanan untuk mendapatkan perasaan itu berbeda-beda pada setiap keadaan dan situasi. Perjuangan untuk memenangkan sebuah pertandingan besar, seperti tinju, balap motor, balap mobil, sepak bola, atau perlombaan atletik tentu sangat berbeda dengan perjuangan untuk memperoleh kebahagiaan dari sekedar bersendau gurau atau canda ringan tak tentu arah di warung kopi.

Kemenangan adalah sebuah cita-cita. Semua orang punya cita-cita, dan tidak semua orang memperoleh apa yang dicita-citakan. Ada yang gagal, ada yang kalah. Ada yang menerima kekalahan dengan lapang dada, ada yang tidak bisa menerima kekalahan dengan biasa-biasa saja. Ada juga yang menerima kekalahan dengan memendam dendam pada yang mengalahkan dengan cara-cara yang tidak sportif, baik di dalam lingkupnya atau pun sudah tak terkait topik. Melepas dendam karena kekalahan juga sebuah cita-cita. Dan jika sebuah cita-cita yang berkaitan dengan persaingan atau kompetisi, pasti ada yang harus menjadi pihak yang kalah. Dan, kekalahan akan selalu dihindari oleh siapa pun.

Menghindari ‘kekalahan’ itulah yang semua orang berusaha untuk tidak menimpanya. Semua berusaha menghindar dari kekalahan sampai pada batas dimana yang kalah dan yang menang ditentukan oleh aturan yang sebelumnya telah dibikin dan disepakati atau dipaksa untuk sepakat pada aturan yang dipakai. Aturan menjadi sangat penting untuk membatasi ruang gerak segala keinginan semua peserta kompetisi yang kesemuanya ingin menjadi pemenang. Dan selalu saja ada jalan untuk setiap orang yang berkemauan. Apakah jalan yang ditempuh itu cara sportif atau cara curang (unsportif). Pilihan jalan dengan cara sportif atau dengan cara curang, tergantung pada nurani masing-masing pelaku. Banyak orang yang memilih curang karena kemenangan menjadi hal yang menyenangkan dan menutup rasa ‘mengganjal’ karena berbuat curang. Rasa curang bisa membius hati dan pikiran sehingga lupa kalau dirinya di curangi pun akan kesal.

Orang yang berbuat curang, tetapi Ia tidak menang, Ia aka menderita setidaknya dua kali lipat. Pertama rasa bersalah karena berbuat curang, yang kedua kecewa usahanya tak berhasil meski dengan cara curang pun. Para pelaku curang biasanya orang yang kurang percaya diri. Ia sudah merasa akan kalah sebelum pertandingan di mulai. Padahal bisa saja jika tak curang pun bisa menang.

Orang yang kalah tapi Ia sudah melakukan tindakan sportif, akan juga tertimpa kekecewaan. Dan akan bertambah kesal jika tahu kalau Ia kalah karena di curangi. Menjadi ‘menerima’ dengan lapang dada sebuah kekalahan walaupun tahu kalah karena di curangi, membutuhkan hati yang besar, nglamprah dan nrima.Diperlukan juga sebuah keyakinan jika jalan Allah adalah jalan yang terbaik dan ada sekenari tersendiri dariNya.

Curang menjadi sebuah ‘kewajaran’ dalam kehidupan kita, baik kecurangan secara halus ataupun kecurangan yang kasar tak tahu malu. Menang, lolos, melewati, dll dengan cara curang seperti menjadi salah jalan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Si pelaku curang lupa dan melupakan ada banyak orang lain yang juga ingin tercapai cita-citanya dan akan kecewa jika tak tercapai.

Perbuatan curang bisa dilakukan sendiri atau bisa berkelompok. Bisa juga dalam tahap awal berbuat curang karena kemenangan di awal harus berkelompok. Tapi jika dalam kelompok yang menang itu kemudian terjadi harus ada yang kalah, maka terjadi lagi persaingan untuk menang yang dalam setiap individu tahu kalau kelompok mereka menang dengan cara curang. Saling curiga pasti akan terjadi dan akan saling menuduh jika si pemenang melakukan kecurangan.

Tak akan ada kecurangan yang memberikan kebahagiaan secara penuh. Jika menang pun, akan ada yang terasa mengganjal. Akan menjadi nikmat jika sebuah keberhasilan diperoleh dengan cara yang baik dan sportif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun