Ada banyak orang yang merasa perilakunya lebih jelek dari seperti yangdilakukan sebagian anggota DPR periode 2014-2019, tapi merasa tidak sreg dengan apa yang dilakukan para wakil rakyat di gedung DPR MPR saat berlangsung sidang DPR. Dalam sebuah sidang yang dikalim terhormat, banyak anggota DPR yang nylethuk asal bunyi dihadapan mik yang tentu terdengar seantero ruangan dan terdengar pula seantero Nusantara karena disiarkan secara langsung. Lebih heran lagi seperti biasa-biasa saja dan dilakukan berulang-ulang.
Mereka memang wakil rakyat. Artinya rakyatlah yang berdaulat, cuma karena tidak mungkin seluruh rakyat mengikuti sidang atau ikut menentukan hal-hal penting menyangkut kenegaraan dan pemerintahan, maka dibentuklah pola perwakilan. Mereka dipilih oleh rakyat dan merekalah yang menyuarakan aspirasi rakyat. Entah aspirasi seluruh rakyat bisa terwakili atau tidak, secara de yure mereka yang berhak untuk menentukan peraturan dan atau peraturan untuk dijalankan oleh pemerintah dan segala alat kelengkapannya, termasuk seluruh rakyat.
Jika ada wakil rakyat yang terhormat maju bergerombol di depan pimpinan sambil berteriak-teriak mengacungkan tinjunya, atau berbicara lewat pengeras suara asbun atau menjungkirbalikan meja, itu mungkin merupakan bentuk gambaran rakyat Indonesia yang melekat pada wakil rakyat.
Secara harfiah, wakil posisinya berada di bawah orang yang diwakili. Jika ada wakil biasanya ada kepala atau ketua. Khusus untuk wakil rakyat, meskipun mereka wakil dari rakyat akan tetapi posisi, wewenang dan kedudukannya lebih tinggi dari rakyat yang sebenarnya diwakili. Mereka lebih punya kuasa daripada rakyat yang diwakilkan.
Proses perwakilan
Tidak semua rakyat yang memilih calon DPR karena merasa seide, sepaham, sekeyakinan dan aspirasinya akan ditampung untuk dibawa dan diperjuangkan dalam proses perjalanan pemerintahan. Ada yang karena ada pertalian persaudaraan, teman sekolah, teman baik, temannya temannya, tergiur kampanye dan janji-janji, ada yang asal pilih, dan ada yang karena di beri uang sebagai imbalan pemberian hak suaranya. Yang terakhir ini oleh orang-orang idealis banyak dikeluhkan. Tapi oleh sebagian banyak orang justru diharap-harap pada saat menjelang pemilu. Uang menjadi pembelian sepadan untuk memberikan hak suaranya.
Saling menjatuhkan teman dan lawan dengan berbagai cara menjadi sesuatu terus menerus terjadi sampai hari H pemilu. Sebuah pertarungan yang melelahkan dan menguras energi. Perlu mental yang kuat untuk ikut bertarung memeperebutkan kursi DPR. Janji tentang kesejahteraan dan kemajuan di kemukakan dengan retorika penuh bumbu.
Bukan tanpa alasan ketika sebagian rakyat mengharap ada yang mebeli hak suaranya. Ketika merasa harapan-harapannya tak terpenuhi oleh wakil rakyat, ketidakpercayaan mengarahkannya pada apatisme dan memilih tak berharap banyak pada penampung aspirasi. Keadaan ini timbul karena banyak anggota DPR yang lebih mementingkan dirinya sendiri dan kelompoknya. Kepentingan rakyta, bangsa dan negara dikesampingkan. Banyaknya anggota DPR yang tersangkut kasus korupsi menambah ketidakpercayaan rakyat sebagai pengemban amanah. Bisa saja mereka yang terjerat korupsi, karena lagi ‘sial’ ketahuan oleh KPK dan masih ada banyak lagi yang kebetulan tidak terendus jejak korupsinya. Mental korup ini juga melekat pada sebagian besar rakyat Indonesia. Tentu mental korup ini tak perlu ditempelkan pada sang wakil.
Jika para wakil rakyat bertindak tak senonoh, apakah karena tergerak untuk mewakili tingkah laku rakyat yang tidak senonoh?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H