Mohon tunggu...
aufannuha ihsani
aufannuha ihsani Mohon Tunggu... -

Should I?

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jilbab dan Kehormatan Seorang Wanita

23 Oktober 2011   18:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:35 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

- Kepada Siti Nurjannah

Ada beberapa hal yang mesti saya sampaikan kepada sampeyan karena telah menulis opini yang bertujuan untuk “meluruskan” apa yang sudah saya tulis pada website ini. Yang paling utama, terima kasih dan terima kasih banyak. Sudah lama tulisan saya tak pernah ditanggapi orang lain. Orang terakhir sebelum sampeyan yang pernah mengomentari tulisan saya adalah petugas perpustakaan Madrasah Aliyah Ali Maksum di masa putih abu-abu dulu. Kritik saya dibalasnya dengan sebuah tulisan pula. Dan, hal-hal seperti ini akan sangat saya hargai.

Kendati begitu, saya menilai bahwasanya kritik yang sampeyan lancarkan pada saya tidak mencakup secara keseluruhan terhadap apa yang saya tuliskan. Karena, apa yang sampeyan tulishanyalah sebuah pelurusan terkait dua kalimat yang, menurut sampeyan, agak sedikit rancu untuk dituliskan. Saya menulis, “Terlebih, dalam Islam, tak ada hukum jinayat yang diberlakukan kepada orang-orang yang tidak menutup aurat mereka. Dan aurat, dalam tuntunan syar’i, hanya wajib ditutup saat sholat semata.”

Rupa-rupanya dua kalimat itu saja yang menjadi titik tolak buat sampeyan untuk menulis esai balasan, dan bukan tulisan secara keseluruhan. Sebab, jika sampeyan mau adil, barangkali mesti pula diberikan sejumlah argumentasi yang mendukung aksi panitia yang memprovokasi mahasiswa baru untuk membalik badan. Namun, sampeyan hanya fokus pada dua kalimat tersebut. Kalimat pertama yang saya tuliskan, sampeyan jelaskan dengan gamblang dan apik melalui sisi etimologis kata “jinayat”. Saya mengira tidak ada hal-hal yang berbau kritik dalam menyikapi kalimat pertama itu. Maka, apa yang sampeyan tulis merupakan kritik atas satu kalimat dari seribu kata yang saya tulis.

Diskursus soal jilbab dan aurat memang tak dapat dibahas lewat satu kalimat saja. Apa yang saya tulis di sana, kalau boleh berpledoi, adalah semacam kesimpulan dari apa yang saya rangkum dari bermacam bacaan dan wacana terkait tafsir dan studi-studi ilmu Al-Qur’an.

Baiklah, mari membincang jilbab dan aurat. Argumentasi yang sampeyan tuliskan dan mengutip berbagai macam ayat dan hadits untuk mendukungnya valid dan terpercaya. Namun, barangkali antara saya dan sampeyan memiliki pandangan berbeda dalam memahami Al-Qur’an. Seorang guru saya pernah berkata pada saya bahwa saya tak boleh kembali pada Al-Qur’an dan hadits. Yang benar, adalah kembali pada orang yang mengerti Al-Qur’an dan hadits. Saya menangkap makna dari ucapan beliau bahwasanya ayat-ayat yang dikandung dalam Al-Qur’an akan rancu bila diterjemahkan secara literer.

Ayat-ayat tak turun dengan sendirinya, melainkan ada sebab dan kejadian yang mendahuluinya sehingga turunlah ayat-ayat tersebut. Jika ayat-ayat tersebut dimaknai secara harafiah, misalnya pada ayat “Yadullahi fauqo aidiihim” (tangan Allah berada di atas tangan-tangan mereka), maka akan terasa keganjilan yang begitu akut. Tangan Allah? Kalau begitu, Allah punya tangan? Bukankah dengan demikian mengingkari doktrin Asy’ariyyah bahwasanya Tuhan itu mukholafatu lil hawaadits (berbeda dari makhlukNya)?

Penafsiran, dengan demikian, membutuhkan suatu kerja yang ekstra keras untuk memahami mengapa ayat-ayat tersebut turun. Istilah dalam ilmu tafsir memberikan nama buat hal yang satu ini: asbabun nuzul, sebab-sebab turunnya ayat. Dalam ayat-ayat yang menyinggung soal jilbab, hal ini pun tak lepas dari apa yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut.

Nasaruddin Umar pernah membahas diskursus soal jilbab ini dalam artikelnya yang dimuat di majalah Ulumul Qur’an pada tahun 1996. Ia adalah seorang staff pengajar UIN (ketika itu IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang pada saat itu sedang menyelesaikan studi S3-nya. Dalam artikel berjudul “Antropologi Jilbab”, ia menjelaskan mengapa ayat-ayat yang membatasi ruang lingkup perempuan dalam berpakaian dan berkegiatan itu diturunkan.

Dalam tulisan ini, saya akan membahas masalah dua surat yang sampeyan sampaikan, yaitu Al-Ahzab dan An-Nur. Sedangkan untuk surat Al-A’raaf tidak dibahas di sini karena kita bisa saja berdebat panjang soal “pakaian taqwa” yang dimaksud secara terminologis dan kontekstual, sehingga inti tulisan ini akan semakin kabur. Mengenai hadits, saya tak akan pula menyinggungnya, sebab hadits yang sampeyan paparkan merupakan hadits ahad, bukan hadits mutawattir atau masyhur. Menurut Muhammad Sa’id Al-Asymawi, seorang Mufti Mesir, dalam pengertian yang shahih, hadits ahad hanya memiliki kekuatan untuk dijadikan tuntunan, anjuran, dan bukan penetapan suatu hukum. Tentu saja ada ulama’ lain yang akan menentang pendapat ini. Namun, marilah kita fokus terhadap penafsiran Al-Qur’an saja, yang kebenarannya tak dapat dibantah kendati penafsirannya boleh jadi beragam.

Al-Ahzab dan An-Nur merupakan surat-surat Madaniyyah. Dalam Studi Ilmu-Ilmu Qur’an karya Manna Khalil Al-Qattan, disebutkan bahwa surat-surat Madaniyyah adalah surat-surat yang diturunkan sesudah hijrah. Berarti surat-surat tersebut, kendati turun di Mekkah maupun Madinah, jika terjadi setelah hijrah, tetap dinamai surat-surat Madaniyyah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun