Mohon tunggu...
Sokat Rachman
Sokat Rachman Mohon Tunggu... Seniman - Penulis Cerita dan Skenario

Ayah 3 anak yang penikmat bacaan, tukang nulis cerpen, komik, skenario sitcoms, suka jajanan kaki lima, dan penulis di: http://sokatandlife.com/

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Tergoda Santan Nasi Uduk Gondangdia

23 April 2014   16:57 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:18 1650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu, Jakarta basah. Hujan yang turun sejak sore masih menyisakan rintik. Jalan seputar Tugu Tani, Menteng sudah padat kendaraan. Terutama yang menuju arah Cikini,  antrean mengular sampai persimpangan di depan kantor pos.

“Macet nggak ada habisnya!” cetus Sopir bajaj ketika motor saya melewati sampingnya.

Dalam kondisi pulang kerja dan perut lapar, situasi macet panjang memang membuat banyak orang masygul, termasuk saya.

Selepas menjemput seorang perempuan cantik dari kantornya, saya tancap gas menuju  arah balik ke barat Jakarta.

Saya memilih jalan di bawah rel kereta api layang di belakang sekolah Perguruan Cikini menuju Jl. Cikini IV. Lepas perempatan Jl. Cikini IV, tercium aroma santan dari nasi uduk yang baru tanak. Suasana dingin dan perut yang tak sempurna isinya membuat saya tergoda!

[caption id="attachment_332844" align="aligncenter" width="300" caption="Tampak muka warung yang ada di Jl. Cikini IV."][/caption]

Saya menghentikan laju motor di depan kedai nasi uduk Gondangdia di jalan Cikini IV, lalu berpaling.

“Makan, yuk!” ajak saya kepada perempuan cantik yang duduk di jok belakang motor saya.

“Nasi uduk?” tukasnya. "Nanti maagmu bagaimana?"

Saya sudah tergoda dan melupakan maag yang kerap menghinggapi lambung. Tanpa berpikir dua kali, saya memarkir motor di halaman depan warung nasi itu. Sudah ada beberapa orang yang menempati kursi bermeja di ruang makannya. Saya dan perempuan cantik yang tadi saya bonceng, memilih satu meja.

Setelah menaruh ransel di kursi, kami memilih lauk di etalase yang disediakan. Tersedia potongan ayam dalam beragam bumbu, juga ada bebek yang juga dengan bumbu berbeda, dan di kotak pendingin disiapkan ikan yang bisa disajikan dalam porsi bakar atau goreng.

Selain itu, terlihat juga tempe, tahu putih, dan tahu Bandung.

Kami memilih ayam dengan bumbu kuning dan bumbu manis untuk digoreng, ditambah usus, tempe, dan tahu Bandung.

[caption id="attachment_332846" align="aligncenter" width="300" caption="Mereka bukan sedang merumpi, tapi memilih lauk."]

13981896391889982486
13981896391889982486
[/caption]

Ketika kembali ke meja, sudah tersedia piring berisi empat porsi nasi uduk yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk kerucut.

[caption id="attachment_332847" align="aligncenter" width="300" caption="Penampakan nasi uduk Gondangdia."]

13981896942104271792
13981896942104271792
[/caption]

Tak sampai lima belas menit, lauk yang sudah digoreng datang. Untuk menyemarakkan makan, saya mengambil sepiring lalapan yang tersedia gratis, serupa seperti di rumah makan sunda lainnya.

[caption id="attachment_332848" align="aligncenter" width="300" caption="Nasi dan lauk yang menggoda rasa."]

1398189801644301618
1398189801644301618
[/caption]

Setelah cuci tangan dan berdoa mengucap syukur atas kesempatan bisa makan enak, saya memasukkan sesuap nasi ke mulut.

Tidak seperti  jenis nasi lainnya, nasi uduk itu dimasak dengan santan.

Jadi, cara memasaknya adalah dengan mendidihkan beras dalam rendaman santan kental, sereh, daun pandan, dan daun salam. Setelah beras aron dan santan meresap, dilanjutkan dengan mengukusnya sampai matang.

Kalau langkah itu dilakukan dengan benar, maka rasa nasi yang sudah matang adalah sama seperti yang saya rasakan di warung nasi uduk Gondangdia ini.

Nasi tidak terlalu lembek atau keras dengan aroma khas daun salam. Ketika nasi dikunyah, santan yang membalut di butiran nasi menebar gurih di lidah. Suapan pertama akan berlanjut ke suapan berikutnya, dan seterusnya, sampai tak terasa saya membuka bungkus nasi uduk kedua.

"Kalau rasanya begini, besok-besok bisa balik lagi," ungkap perempuan cantik di depan saya yang sudah juga menyuap nasinya.

Rasa gurih nasi uduk itu memang terasa lama tercecap di lidah, apalagi dipadu dengan pedasnya sambal yang ada.

Di warung ini, ada dua sambal yang tersedia di masing-masing meja, yaitu sambal goreng merah dan sambal kacang. Keduanya cocok dan sama enak, walau sambel merah memiliki rasa pedas yang lebih nancap di lidah.

[caption id="attachment_332849" align="aligncenter" width="300" caption="Sambal penyedap makan nasi."]

13981899591022445065
13981899591022445065
[/caption]

Rasa pedas itu perlahan berkurang setelah saya menyeruput air jeruk hangat. Satu kata yang melintas dalam pikiran saya seusai melahap dua bungkus nasi uduk dengan lauk ayam bumbu manis, tahu, dan tempe; nikmat.

Sebungkus nasi uduk di warung nasi uduk Gondangdia diganjar dengan harga @Rp 5.500, sepotong ayam @Rp 11.500, ampela @Rp 300, serta tahu dan tempe @Rp 6.000.

Untuk lauk lain, seperti usus dihargai @Rp 3.500 sedangkan air jeruk @Rp 3.500.

Warung nasi uduk Gondangdia ini, yang diklaim oleh pemiliknya, sudah melayani konsumen sejak tahun 1993.

Saya ingat betul,  dulu warung ini ada di seberang warung Bakmi Gondangdia di jalan R.P. Soeroso.

Tetapi, warung pun digeser lebih masuk ke dalam jalan Cikini IV, di bawah rel kereta api layang sejak tempat awal berpindah kepemilikan dan ditutup untuk berjualan.

Selain menyajikan nasi uduk, Warung nasi ini juga menyediakan nasi ulam dengan lauk yang saya sebutkan di awal.

Untuk minuman pun beragam, dari air teh yang gratis isi ulang, soft drink,  berbagai  minuman olahan dari buah, dan jus buah.

Satu cara warung nasi ini memanjakan pelanggan, kebanyakan merupakan karyawan kantor yang ada di sekitar wilayah Cikini, adalah dengan menghadirkan live music untuk menemani suasana santai bersantap.

Empat orang lelaki memainkan musik dan lagu di pojok dekat kasir, jadi selepas tiap pelanggan membayar bea makan, diharapkan menyisihkan juga rupiahnya ke dalam kotak kardus bertuliskan “Sawer”  yang ada di depan anggota band itu.

[caption id="attachment_332850" align="aligncenter" width="300" caption="band penyemarak suasana makan."]

13981902101226674923
13981902101226674923
[/caption]

Dari semua itu, ada terselip kekurangan dari warung nasi ini, yaitu ruang toilet yang kurang resik dan ketiadaan mushola sebagai fasilitas pendukung.

Wastafel di toilet bocor di leher bawahnya sehingga air cucian tangan menciprat ke kaki. Mungkin itu masalah kecil, namun keindahan dan kenyaman sebuah bangunan dilihat dari keapikan kamar kecil.

Sementara itu, kalau ingin beribadah di mushola, kita bisa menyeberang ke mushola yang ada di luar warung. Mungkin kedekatan dengan musholah itu yang  membuat warung ini tak menyediakan ruang ibadah.

Usai "menyawer" dan keluar warung, hujan sudah reda sama sekali. Kini perut saya sudah aman terkendali, sehingga jarak rumah yang masih sekitar 30 menit lagi sudah tidak menjadi masalah, walau saya tahu macet pasti masih akan mengadang.

Perempuan cantik yang saya ajak makan sudah naik ke jok belakang motor, gas motor saya tarik sehingga kami melaju meninggalkan warung nasi uduk Gondangdia dengan mantap.[sr]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun