Mohon tunggu...
Sokat Rachman
Sokat Rachman Mohon Tunggu... Seniman - Penulis Cerita dan Skenario

Ayah 3 anak yang penikmat bacaan, tukang nulis cerpen, komik, skenario sitcoms, suka jajanan kaki lima, dan penulis di: http://sokatandlife.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ulang Tahun

14 Agustus 2014   15:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:34 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen : Sokat Rachman

“Assalamu’alaikum….” ucap Pak RT memulai pembicaraan dengan beberapa orang warganya yang berkumpul di bawah pohon mangga di halaman rumahnya.

“Sebelumnya saya mohon maaf, jika pada malam ini saya mengumpulkan saudara-saudara dengan agak mendadak. Mungkin ada sebagian yang bertanya-tanya mengenai hal ini.

Karena tidak seperti biasanya saya memanggil saudara-saudara tanpa surat edaran. Tetapi, hal itu tak perlu dipersoalkan. Saya di sini cuma ingin membicarakan sesuatu pada saudara semua. Tak ada salahnya toh, bila kita saling bertukar pikir. Lagipula kita ini adalah satu keluarga. Keluarga besar RT ini. Ya tidak?

Tapi maaf, sekali lagi, bila yang saya ingin bicarakan ini merupakan sesuatu yang tidak begitu penting. Atau boleh jadi tidak berkenan di hati saudara-saudara. Namun, kalau tidak dibicarakan saya takut nantinya malah menimbulkan salah pengertian, bisa menjadi kerikil dalam hubungan antarwarga di wilayah ini.

Saya tak mau ada ketidakharmonisan dalam kehidupan kita bertetangga. Itulah mengapa saya selalu ingin ada keterbukaan di antara kita. Jadi, tak perlu timbul gerendengan di belakang hari.

Meski lingkup kita memang kecil, namun dengan adanya kerukunan yang terbina baik di sini, bukan mustahil dapat membentuk pola perilaku kita berbangsa yang jauh dari saling sikut menyikut.

Kita patut menjaga sikap kerukunan yang sudah ada ini agar dapat mengembalikan mental bangsa pada kebudayaan yang telah lama mengakar yaitu keramahan dan saling menghargai sesama.

Jadi, walau hal itu kini hampir tak bersisa, tak ada salahnya kita coba membangkitkan kembali. Dan 17 Agustus adalah saat yang tepat untuk itu.

Saya pikir, arah dari pembicaraan ini mungkin sudah ada yang mengerti. Beberapa hari ini, saya telah mendengar adanya pertanyaan-pertanyaan di kalangan warga seputar kegiatan tujuh belasan di wilayah kita.

Memang benar, seminggu lagi sudah akan tanggal 17 Agustus. Berarti dalam tujuh hari ke depan itu kita akan memperingati hari ulang tahun kemerdekaan negara kita. Seperti yang tiap-tiap tahun sebelumnya kita rayakan.

Saya tahu sudah ada bisik-bisik mengenai kenapa kok di wilayah kita ini masih adem ayem saja. Padahal, di RT lain, segala persiapan sudah meriah.

Di RT sebelah saja sudah terpasang bendera, umbul-umbul, rentangan bendera-bendera plastik di sepanjang jalan, pengecatan gapura, dan pembersihan lingkungan, juga pembentukan panitia lomba, bahkan sudah ada yang mempersiapkan panggung hiburan segala. Tetapi di sini?

Saya mengerti melihat rasa penasaran pada diri saudara-saudara atas ketidakadaan gegap gempitanya wilayah kita dalam menyambut ulang tahun kemerdekaan.

Tapi itu bukan tanpa alasan. Sebenarnya, saya sendiri tidak begitu antusias menyambut tujuh belasan tahun ini. Boleh dibilang untuk tahun ini saya merencanakan untuk tidak mengadakan kegiatan apapun.

Apa pasal? Jelas ini bukan berarti saya sudah tidak cinta lagi terhadap tanah air. Tadi pun sudah saya utarakan bahwa 17 Agustus adalah momentum yang baik untuk kebangkitan atas sikap bangsa kita.

Sejak kecil, saya sendiri sudah diwanti-wanti oleh ayah saya, yang beliau dapat dari kakek saya, yang juga berasal dari buyut saya yang ikut sumbang tenaga dalam perang kemerdekaan, yaitu untuk senantiasa menjaga bumi pertiwi ini tetap utuh dalam kesatuan.

Saya sendiri bingung. Lha kok saya yang bukan apa-apa ini diamanati seperti itu. Namun, toh pesan itu tetap saya jalankan. Saya selalu mencintai negeri ini lahir-batin.

Tak ada sedikit pun niat di hati saya untuk meninggalkannya, walau arah langkahnya sudah terasa limbung. Sebab saya pikir, bila bukan kita yang mengembalikan alur tujuan negeri kita sendiri, siapa lagi?

Apa kita akan selalu dituntun oleh pihak asing? Bukankah itu sama saja dengan kita masih dijajah? Lalu, apa artinya kemerdekaan yang sudah penuh pengorbanan kita raih selama ini?

Sekali lagi, perlu saya tegaskan, bukan lantaran tidak cinta sehingga saya menjadi kurang semangat dalam menyambut ulang tahun  kemerdekaan negara ini.

Saya hanya ingin merasakan perayaan proklamasi ini tanpa semaraknya umbul-umbul, riuhnya bendera-bendera plastik yang saling-silang di sepanjang jalan, gegap gempitanya anak-anak dengan perlombaan, dan panggung hiburan.

Biarlah tujuh belasan ini kita lewati dengan sederhana. Sehingga kita bisa introspeksi diri.

Saya ingin kita tidak selalu berpikir bahwa tujuh belasan itu identik dengan lomba dan panggung hiburan semata, melainkan seharusnya pada peningkatan mutu dari bangsa ini.

Sebab saya melihat, kita telah melupakan semangat dari hari kemerdekaan itu sendiri. Coba saja bila dulu, Soekarno tidak “diculik” ke Rengas Dengklok dan didesak oleh para pemuda untuk segera memproklamasikan negeri ini, apa mungkin ada tujuh belasan?

Itulah yang saya khawatirkan.

Kita mengartikan perjuangan mereka dengan bentuk kesenangan, bukan pada penerusan cita-citanya: menjadikan bangsa ini benar-benar merdeka dan mampu berdiri tegak di hadapan bangsa lain.

Saudara-saudara bisa lihat betapa sulitnya bangsa kita untuk bisa mencapai kemandirian. Kita ambil contoh saja soal pangan.

Semua tahu negeri kita ini bertanah subur, tapi kenapa masih mesti impor beras dari negara lain, negara yang baru merdeka dan belajar dari kita tentang pertanian pula. Lucu, kan?

Petani kita malah keteteran menghadapi pasokan bahan pangan dari luar yang beredar di pasaran itu. Harga komoditi yang mereka hasilkan jauh dari harapan untuk dapat hidup lebih.

Sedang teknologi yang dipakai tidak pernah berkembang, susah untuk bersaing jadinya

Bisa dibayangkan bagaimana nantinya. Kita ini sudah kadung terlena pada kenangan pernah menjadi hebat di mata dunia. Tetapi, itu masa lalu. Sekarang kita telah jauh tertinggal, tengoklah negara sebelah, mereka sudah mencap diri sebagai negara yang penuh pesona.

Padahal kita punya segalanya yang lebih dari itu di sini, tapi kita tak pernah mau mengembangkan menjadi sesuatu berharga. Kita lebih senang menawarkan hal itu pada pihak asing untuk mengolahnya yang hasilnya tentu lebih menguntungkan mereka ketimbang kita.

Kita lebih suka dipekerjakan mereka daripada menggaji mereka.

Alhasil, setelah sekian lama kemerdekaan dikumandangkan tak juga ada perubahan dalam kehidupan  kita berbangsa.

Disadari atau tidak, kita masih terbelenggu dalam nuansa penjajahan. Ini yang harus kita sikapi dengan cermat, jika tak ingin keadaannya terus berlangsung. Kita harus bangkit.

Bangun dari buaian mimpi yang membekukan otak di tempurung kepala kita. Karena kita memang adalah bangsa yang besar. Dan itu harus dibuktikan kembali.

Itu adalah suatu tugas besar buat kita semua. Ya, kita yang cuma wong alit ini juga berkewajiban membangun negeri ini dari keterpurukan, setidaknya semampu yang kita dapat.

Sebab bila kita sebagai rakyat tidak dapat membangkitkan semangat untuk kemajuan, maka negeri ini akan selalu berjalan di tempat, di tengah hiruk-pikuknya globalisasi yang hadir di segala bidang.

Kita sudah tertinggal jauh, ini suatu kenyataan. Meski pahit, kita harus menerimanya, menjadikannya sebagai cambuk untuk bangkit dan kembali melangkah tegap untuk menyusul.

Kita pasti bisa, karena kita punya keyakinan. Kita yakin Tuhan akan memberikan keberkahan pada kita, karena kita tak pernah melupakan-Nya.

Ini yang terpenting dan yang membedakan kita dengan bangsa lain.

Sudahlah. Intinya saya hanya ingin mengatakan biarlah kita merayakan 17 Agustus tahun ini tanpa lomba, tanpa panggung hiburan, dan tanpa semarak umbul-umbul!

Marilah kita menyambutnya dengan introspeksi diri dan doa untuk kebangkitan bangsa ini, agar dapat benar-benar merasakan kemerdekaannya.

Memiliki kemandirian dan kepribadian, lepas dari pengaruh negara lain. Karena kitalah pemilik negeri ini, jadi kita pula yang mesti membangun, mengolah, menjaga, dan menikmati segala sesuatu yang berasal dari tanahnya. Bukan pihak asing. Saya yakin kita pasti bisa. Ya, saya rasa cukup sudah yang saya ingin utarakan. Terima kasih atas perhatian saudara-saudara.”

Warga yang masih bingung maksud dari kata-kata Pak RT bubar seketika setelah sebelumnya menyantap pisang goreng dan teh manis yang disediakan.

***

Sehari sebelum tujuh belas Agustus. Suasana tetap terlihat lengang. Tak ada hiruk-pikuk untuk penyambutan, meski di muka tiap-tiap rumah sudah bermunculan tiang-tiang berbendera. Hari kemerdekaan jadi terlihat biasa, tak berbeda dengan hari-hari lain.

Di teras rumahnya, sembari membaca koran ditemani dengan kopi panas dan sepiring pisang goreng, Pak RT tampak berseri. Ia puas kata hatinya sudah dapat dijalankan di wilayahnya. Bangsa ini memang perlu perubahan, agar bisa bangkit menuju kemajuan, pikirnya.

Sambil menyeruput kopi, matanya memperhatikan Bagus, cucunya dan ketiga temannya yang asyik bermain di halaman. Mereka melompat-lompat dengan memakai karung goni dari satu sisi ke sisi yang lain.

Semuanya saling beradu cepat. Kadang terdengar tawa yang riuh begitu ada salah satu anak yang terjatuh. Pak RT juga ikut-ikutan tertawa. Tapi itu tak lama. Kemudian ia malah tercenung. Gusar. Hatinya berontak.

Bagaimana mungkin ia memberhangus kebahagiaan anak-anak pada saat tujuh belasan nanti, dengan sama sekali tidak mengadakan acara lomba bagi mereka. Sedang itulah sepertinya yang mereka tunggu di setiap bulan Agustus.

Apa dia begitu tega jika nanti melihat cucunya hanya menjadi penonton belaka pada acara lomba  anak-anak di RT sebelah?

Ia tersentak. Sontak batinnya menggeliat. Mereka adalah tunas-tunas negeri ini, apa jadinya bila kegembiraan mereka dikekang. Bukankah itu malah membelenggu kreativitas mereka?

Maka, ia bangkit dan bergegas memanggil sekretaris RT, memberi perintah untuk mengundang warga rapat malam nanti. Ia ingin meralat kata-kata dan niatnya semula.

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun