Mohon tunggu...
Sosbud

Seakan Memutar Waktu saat Wawacan Syeikh Dibacakan

16 Agustus 2017   19:15 Diperbarui: 16 Agustus 2017   20:11 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana saat lomba baca wawacan syeikh di Malingping. (dok pri)

Senandung irama pupuh kinanti terdengar samar-samar dari kejauhan seakan memecah keramaian sore itu di Pendopo Kecamatan Malingping, Selasa (15/8/2017). Di bawah bangunan eks Kantor Kwadanaan Cilangkahan itu berkumpul sekelompok orang tua berpeci, bersorban dan mengenakan samping sarung. Satu per satu mereka membacakan wawacan atau manaqib Syekh Abdul Qodir Jaelani. Seketika suasana serasa hening, waktu pun seakan terhenti dan kembali ke masa lalu. Yang hadir ditempat itu pun nampak terdiam larut terbawa lantunan pembacaan wawacan yang dilantunkan secara bergantian.

Hal itu terselenggara dalam rentetan acara peringatan HUT RI ke 72 di Kecamatan Malingping. Semua pembaca wawacan itu merupakan perwakilan dari desa-desa yang ada di wilayah Kecamatan yang digadang-gadang akan menjadi pusat pemerintahan Daerah Otonomi Baru Kabupaten Cilangkahan. Dibalut dalam sebuah lomba untuk melestarikan tradisi yang dipercaya memiliki unsur magis. Bahkan ada yang menyebutkan, bahwa wawacan itu bisa menjadi wasilah untuk mendatangkan kebaikan bagi siapapun yang dengan rutin mendengarkan dan membacanya, bahkan ada yang menyebutkan bisa ditujukan untuk menerawang masa yang akan datang.

Seandainya bisa memasuki penembus waktu, mungkin ini menjadi interpretasi keadaan masa lalu saat sang pemuka agama Syekh Abdul Qodir Jaelani masih jeneng di dunia ini. Dalam wikipedia syekh Abdul Qadir Jaelani sendiri adalah seorang ulama fiqih yang sangat dihormati oleh sunni dan dianggap wali dalam dunia tarekat dan sufumisme. Ia lahir pada hari Rabu tanggal 1 Ramadan di 470 H, 1077 M di selatan laut kaspia yang sekarang menjadi Provinsi Mazandaran di Iran. Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 rabiul awal di daerah Babul Azajwafat di baghdad pada 561 H/1166 M.

Menurut Panitia Penyelenggaran Lomba baca wawacan Kecamatan Malingping, Kiyai Sodik menyebutkan, bahwa inti dari isi wawacan syeikh Abdul Qadir Jaelani itu adalah biografi dan perjalanan Syeikh Abdul Qadir Jaelani dari mulai lahir, saat menimba ilmu hingga perjalanan hidupnya secara detil. 

Kata Sodik yang juga Ketua Magrib Mengaji Kecamatan Malingping ini, menuturkan, bahwa scara umum, di tanah Banten pembacaan Wawacan  Syeikh  sudah  menjadi bagian dari tradisi di masyarakat. Pembacaan manaqibSyeikh Abdul Qodir sudah menjadi rutinitas penduduk yang hampir dijumpai setiap hari pada rumah-rumah tertentu. Bahkan ada beberapa penduduk yang menyelenggarakan acara pembacaan manaqibitu seminggu sekali kali secara rutin. Namun di daerah Malingping khususnya, pembacaan syeikh itu sudah jarang ditemukan, hanya dalam acara-acara tertentu saja.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Ruby Ach. Baedhawy, istilah wawacan syeikhdi masyarakat lebih akrab dikenal dengan istilah mamacan syeikh, maca syeikhatau manaqiban. Banyak orang yang suda biasa menjadi pembaca (juru maos) wawacan syeikh. Meskipun mereka pada umumnya bukan para pengikut Tarekat Qodiriyah atau tarekat lainnya.

Acara maca sehtidak hanya bersifat spiritual dan pribadi, tetapi juga bermakna sosial. Karena itu acara ini diselenggarakan tidak bersifat privat yang tertutup tetapi lebih bersifat terbuka dengan mengundang masyarakat sekitar. Yang menjadi pertimbangan utama dalam undangan untuk menghadiri acara maca sehbersifat teritorial, yakni jauh dan dekat tempat tinggal yang bersangkutan dari rumah penyelenggara, bukan berdasarkan status sosial atau aliran  politik  yang  dianut  warga.  Acara  maca  seh  tersebut  biasanya  juga memakai pengeras suara yang bisa terdengar beberapa ratus meter dari tempat acara berlangsung.

Karena itu penyelenggaraan maca seh berinflikasi secara psikologis dan sosial. Kepercayaan bahwa dengan menyelenggarakan maca seh,yang bersangkutan  akan  terlindungi  dari  setiap  bahaya  atau  hal  yang  merugikan dalam menempuh kehidupan, mendatangkan ketenangan bathin bagi penyelenggara sehingga ia bisa berpikir positif dalam menunaikan pekerjaan yang akan atau sedang dilakukan. Sedangkan secara sosial, penyelenggaraan maca sehmerupakan salah satu sarana pertemuan bagi warga yang tempatnya berdekatan sehingga mendorong terjadi integrasi sosial dan mengurangi konflik sosial. Hal ini pada akhirnya akan menumbuhkan keseimbangan secara emosional bagi individu dan mendorong terjadi harmoni sosial yang kokoh dalam kehidupan keseharian warga. (Almalik)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun