Mohon tunggu...
soni herliansyah
soni herliansyah Mohon Tunggu... -

mengentaskan mata pena

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menggoreskan Rindu

5 November 2013   02:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:35 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dengan senyuman sembringisnya, dari kejauhan ia memanggilku. " mamas" , teriaknya dengan suara setengah keras sembari melambaikan tangannya memanggilku. Langkah kecilku menghapirinya. " wah rif, hendak kemana?", tanyaku sambil menjabat tangannya. "pulang", sahut rifal.
Mengenakan kaos kuning berkerah yang agak sedikit kebesaran, celana bahan warna hitam yang sudah agak memudar dan topinya warna cokelat yang selalu setia menemaninya bagaikan mahkota kehormatan baginya.
Kardus kecil nan ringan di jinjingnya, entahlah, apa isi kardus cilik itu. Ku kira ia akan memanggil tukang ojek untuk menghantarkannya kestasiun, ternyata tidak, ia memilih untuk berjalan kaki sejenak bersamaku.

Langkah-langkah kecil kami tak terasa menghantarkan posisi kami jauh dari tempat semula kami berjumpa hari ini yaitu di depan mesjid Baiturrohman, mesjid kampus tempat kami menuntut ilmu itu. " mas, coba kau lihat pohon-pohon itu" , ucap rifal sambari mengarahkan lima jarinya menunjuk pohon-pohon rindang yang memayungi langkah-langkah kecil kami. " indah, menyejukkan", sahutku yang juga merasakan sejuk dan keteduhannya berjalan di bawah pohon-pohon ini. " kau tahu.." belum sempurna kata-katanya langsung aku menyahut, " apa ?". " kau tahu,bahwa rasa teduh  yang kita rasakan di bawah pohon-pohon ini merupakan hasil karya yang berkolaborasi dari semua yang ada di sekitar kita", terang rifal padaku. " hasil kolaborasi" ucapku dengan nada bertanya. " coba kau renungkan" tambahnya.

rifal, insan Tuhan yang soleh ini selalu mengajariku dengan kata-kata indahnya, ia mengajakku untuk selalu berfikir dari apa yang kita lihat, dari apa yang kita dengar dan dari apa yang kita rasakan. Entahlah, Aku pun masih belum pandai menganalisanya, ia lebih memilih berjalan sejenak denganku, padahal ia hendak pulang katanya tadi. Kalau aku tanyakan padanya, ia pandai menjawabnya dengan indah dan menyentuh hati, namun fikirku ia harus cepat mengakhiri langkah-langkah kecil kami hari ini, walaupun mungkin tak sedikitpun ia berfikiran demikian, namun aku menghawatirkannya jika langkah ini tanpa segera di akhiri akan menunda perjalanannya menuju stasiun untuk pulang kerumahnya di pusat ibu kota jakarta.

Nampak wajahnya yang suci ini memberikan semangat baru, snyumnya yang menyentuh hati dan rangkaian kata-katanya membuka makna. Kebersamaan kami hari ini memang terbilang sangat singkat, namun di kebersamaan yang terbilang singkat ini menggoreskan kerinduan.
Lambaian tangannya yang lembut itu seolah tersirat makna kecintaannya yang tulus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun