Pelajaran Penting Di Suatu Pagi
Oleh: Solihin Agyl
Pagi masih berselimut dingin, seorang petani bercengkerama dengan istri dan putranya yang bersiap pergi ke sekolah. Suasana rumah keluarga kecil dan tenang di pagi itu sedikit terganggu oleh isak tangis sang anak yang merajuk untuk dibuatkan mainanRoda Berputar—tugas mata pelajaran keterampilan di sekolahnya. Sialnya, tugas tersebut harus dikumpulkan pagi itu juga. Saat ditanya kenapa ia tidak mengerjakannnya beberapa hari sebelumnya selagi masih banyak waktu, ia bilang lupa.
Petani setengah baya yang juga seorang guru mengaji itu menasehati bahwa tugas keterampilan tersebut sebenarnya adalah tanggung jawab si anak dan tidak semestinya ia menyuruh orang lain untuk mengerjakannya karena dengan tugas ituia tidak hanya belajar mencipta sesuatu tetapi juga, dan ini lebih penting, menjaga amanah yang telah diberikan oleh gurunya. Sang ayah meyakinkan bahwa semua nilai kehidupan secara tidak langsung tertanam melalui proses belajar yang melekat pada tugas-tugas yang diberikan oleh guru di sekolah.
Namun, tangis sang anak semakin menjadi-jadi karena ia merasa takut akan hukuman yang akan diterimanya dari guru karena telah sengaja tidak mengindahkan tugas yang diberikan. Ibunya, yang sejak tadi menahan belas kasihan segera beranjak untuk membuatkan mainan itu untuk putranya. Tapi sang petani tegas sekali mencegahnya. Ia lebih senang dan bangga bila di sekolah nanti sang anak mengakui kesalahan dan kelalaiannya itu.
Kemudian, ia menghampiri putranya itu dan berusaha menenangkannya. Diletakkannya tangan kirinya di pundak sang anak. Ibunya pun demikian, dengan lembut ia menyentuh pipi putra semata wayangnya itu. Kedua orang tua ini menunjukkan rasa bangga yang mendalam dan tulus untuk meyakinkan sang anak agar berani berangkat ke sekolah dengan persiapan mental—dengan tangan hampa—untuk mengakui kesalahannya pada guru yang memberinya tugas keterampilan itu.
Kejadian di atas adalah contoh nyata dari sebuah pembentukan karakter sejak dari rumah. Kisah ini memantapkan pemahaman kita bahwa seorang anak hanyalah secarik kertas putih yang kosong. Faktor dari luar—orang tua dan guru—sehari-hari menjadi faktor penting dalam pendidikan dasar karakter seorang anak.
Sering tanpa kita sadari orang tua bahkan juga guru justru memberikan contoh yang kurang mendidik.Sebab, kisah sebaliknya bisa terjadi;Si anak mempunyai tugas yang ia lalaikan. Karena terburu waktu, orang tuanya yang membuatkan tugas keterampilan itu untuk anaknya, kemudian setelah di sekolah, si anak—berdasar panduan orang tuanya—memastikan bahwa karya itu adalah asli kreasinya. Atau, karena terlalu sempit waktu yang tersedia, orang tua menulis surat untuk gurunya bahwa anaknya tidak bisa masuk sekolah pada hari itu dengan alasan yang dikarang-karang untuk “menunda” waktu menyelesaikan tugas sekolah itu.
Sementara sering juga terjadi, pada saat memberi instruksi untuk tugas yang harus diselesaikan para siswanya, guru tidak memfasilitasi agar siswa mudah menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab.
Contoh berikut adalah dialog (kisah nyata) antar orang tua yang terjadi di dunia maya menanggapi tugas yang diberikan oleh guru pada anaknya. A menghubungi kawannya B yang kebetulan ada di Australia untuk melanjutkan studi S-3 nya.
A: Anak saya sedang ada tugas sekolah, nih. Guru kelasnya meminta dia mencari Pen-pal dari luar negeri. Aku bingung apa yang harus aku lakukan karena aku sama sekali tidak mengerti bahasa Inggris sementara anakku juga tidak tahu banyak tentang mencari teman asing dari internet.
B: Loh, gurunya hanya memberi instruksi begitu saja? Hati-hati lah, tidak semua orang bule mau berteman dan tiba-tiba menjadi pen-pal karena kebanyakan orang bule terlalu fokus dengan urusan pribadinya. Emangnya si guru tidak memfasilitasi dengan info penting terkait pen-pal di dunia maya?! Kalau begitu caranya bisa berabe karena banyak orang tua di Indonesia yang sama sekali awam dengan bahasa Inggris dan dunia internet.
Kisah-kisah di atas adalah bagian dari keseharian yang akibatnya bisa berakibat pada pembentukan karakter yang tidak baik pada siswa.Kita sebagai orang tua termasuk guru di sekolah sering berpikir cara cepat dan instan untuk membantu meringankan beban si anak apalagi pada saat tidak banyak waktu (Bhs. Jawa: Kepepet) seperti kejadian-kejadian di atas.
Setiap orang memiliki tanggung jawab. Sekali sebuah tanggung jawab melekat pada diri kita, maka pantang kita menyerahkan tanggung jawab tersebut pada orang lain begitu saja tanpa alasan yang jelas. Bila tidak, kita pasti dinilai tidak bertanggung jawab atau bahkan mendapat stigma sebagai seorang pengecut.
Contoh petani dan anaknya di atas jelas sekali memberi gambaran bahwa bila si ibu mengerjakan tugas itu untuk anaknya, berarti ia sebenarnya telah membiarkan anaknya belajar tidak bertanggung jawab. Lebih jauh lagi, hanya karena ingin menutupi kesalahan anaknya yang telah dengan sengaja melalaikan tugas keterampilan itu berarti si ibu telah mengajarkan ketidak-jujur-an pada putranya itu.
Kemudian bila anaknya enggan berangkat ke sekolah karena takut pada hukuman sang guru di sekolah dan orangtuanya tidak mengajarkannnya cara meminta maaf dan mengakui kesalahannya, sebenarnya petani dan istrinya itu sedang mengajarkan ke-pengecut-an pada si anak.
Kejujuran yang sangat ditekankan oleh kawan petani di atas bahwa ia lebih senang dan bahagia bila anaknya mengakui secara terus terang ke pada gurunya terkait kelalaianya mengerjakan tugas itu adalah pelajaran karakter yang amat penting.
Di sekolah, meskipun mungkin si anak tidak akan mendapat nilai baik bahkan mungkin akan mendapat hukuman tapi pasti dalam hatinya si guru mengagumi kejujuran anak tersebut.
*Mari mengajarkan karakter yang baik pada anak didik kita mulai dari kejadian kecil, mulai dari sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H