Aku berdiri, berkaca, memandang sosok keraguan yang begitu besar. Memikul beban yang seharusnya menjadi pembuktian diriku. Diluar sana hiruk pikuk yang semakin nyaring bak menunggu diriku dieksekusi dihadapan khalayak ramai.
Disela-sela suasana itu, aku menarik nafas dalam-dalam. Mencoba berpikir atau tepatnya menjawab rentetan pertanyaan yang berkecamuk dalam kepala. Apa aku harus melakukan ini? Apa mereka tidak bisa menunggu dilain waktu? Bagaimana jika aku gagal? Kenapa harus aku? Semakin aku mencoba menjawabnya, darahku serasa berhenti mengalir, semakin aku tersiksa oleh keraguan itu.
"Tok..tok..tok..!!", suara itu mengejutkanku. Seorang tua muncul dari balik pintu. Memandang heran diriku yang mematung sendiri. "Ada apa" katanya. "Beri aku waktu sedikit lagi" sahutku sambil tersenyum kecut. "Sebentar lagi giliranmu, kamu bahkan belum bersiap-siap" jawabnya. "Ya aku tau", aku tercekat, suaraku hampir tak terdengar.
Sang tua itu mendekatiku dan menatap tajam mataku. Aku tiba-tiba menjadi "patung" sekarang. Menatapku sejenak, menepuk punggungku, akhirnya dia tersenyum dan berkata, "Aku dulunya merasakan hal yang kamu rasakan sekarang". Takut, gugup, ragu, ya itu semua yang kurasakan saat ini! Â Tapi apa yang kutakutkan? Kenapa aku mesti ragu? Bukankah ini bagian dari hidupku?
ahh! pertanyaan-pertanyaan itu kembali datang. Aku terdiam kembali.
"Kamu akan baik-baik saja setelah ini, kegagalan tidaklah mencabut nyawa dari ragamu, akan tetapi niat dan tekadmu akan selalu menjadi bagian dari nilai-nilai hidup yang akan diwariskan kepada anak cucu kita kelak" katanya sambil meraih sebuah rompi dan memberikannya padaku. Setelah itu dia beranjak pergi keluar, meninggalkanku sendirian.Aku tertegun sesaat dengan perkataannya barusan. Dalam beberapa menit, sang tua itu telah mengembalikan kepercayaan diriku, membuatku lega.
Aku berdiri, berkaca, memandang diriku yang sebenarnya. ya, inilah diriku yang sebenarnya. Tanpa rasa takut. Tanpa terbeban apa-apa. Tubuh yang terbalut rompi, sebuah parang besar berhiaskan taring babi hutan kusarungkan dipinggangku. Sebuah tombak telah siap dalam genggamanku.
Kembali terdengar jelas gemuruh suara diluar sana, mereka menungguku. Mereka yang menjadi bagian dari hidupku. Aku tersenyum dan berbalik badan menuju pintu keluar sambil meraih mahkota kepalaku.
Diluar sini kurasakan panas terik menerpaku. Aku berdiri ditengah-tengah mereka. Diujung sana, sebuah batu yang tersusun besar terdiam kokoh menantangku.
Aku mulai berlari mendekati batu itu. Perlahan kutambah kecepatanku. Batu itu semakin dekat, aku berlari cepat dan semakin cepat mendekatinya. Diriku terbakar semangat. Semangat para pendahuluku. Terbakar emosi akan pembuktian diri. Terpacu nilai sakral yang diturunkan kepada anak cucuku.
Akhirnya sebuah lompatan tinggi menaklukkan batu besar yang kokoh itu. Sesaat aku telah berada diseberangnya. Berdiri menatap langit. Kurasakan begitu hangat hari ini.
***
"Apapun tantangannya, kita dapat melompat lebih tinggi"
Gunungsitoli, 27 Juli 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H