Hubungan antara banjir dan hujan bisa dikatakan seerat hubungan antara asap dan api. Namun terhadap yang pertama kita bersikap negatif. Pengalaman membuat kita memandang banjir selalu sebagai ancaman. Ketika musim hujan tiba ketakutan-ketakutan bermunculan  bahkan kita membuatkan sirine atau alarm untuk menyambut banjir.
Di kota-kota berpantai seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya banjir sudah menjadi fenomena tahunan. Setiap musim hujan tiba air sudah hampir pasti selalu melintasi dan menggenangi jalan raya, kompleks perumahan dan fasilitas umum lain. Berbagai solusi sudah dicoba mulai dari yang kecil seperti membuang sampah pada tempatnya, membersihkan selokan hingga yang besar seperti pembangunan kanal dan bozem. Namun seperti flu, banjir itu selalu kambuh.
Banjir juga tidak memandang apakah yang didatanginya negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang. Mungkin bedanya negara maju lebih tanggap dalam mengantisipasi dan meminimalisir dampak negatif banjir - inilah yang sebenarnya diupayakan oleh semua. Akar persoalan banjir tidak melulu urusan sampah menyumbat selokan.
Ada persoalan lebih besar yang  perlu kita sadari seperti pemanasan global, turunnya permukaan tanah dan naiknya permukaan laut. Artinya kita harus membiasakan diri dengan kejadian banjir. Hampir tidak ada lagi permukiman yang benar-benar aman dari ancaman banjir. Alih-alih menganggapnya sebagai ancaman kita perlu memikirkan cara agar banjir menjelma sebuah peluang. Mungkinkah? Kita coba pikirkan.
Pertama, banjir sebenarnya memberitahu kita ada yang tidak beres dengan lingkungan yang kita tinggali. Misalnya, sampah yang terbawa banjir bukan hanya menunjukkan penyumbatan saluran air. Ini memberi sinyal seberapa buruk sistem drainase dan sanitasi kita. Banjir membersihkan masalah yang kita lalaikan dan berpotensi menimbulkan dampak lebih parah bila dibiarkan.
Kedua, banjir mengingatkan kita bahwa permukaan tanah yang kita pijak sedang mengalami penurunan. Ketika suatu wilayah yang tidak pernah kebanjiran tiba-tiba diterjang banjir maka perlu diteliti seberapa besar sumber air tanah dikonsumsi. Seberapa rendah posisi hunian kita dibandingkan daerah sekitar. Banjir tentu menjadi isyarat yang berguna bagi pembangunan suatu wilayah selanjutnya.
Ketiga, banjir bisa dikelola dan bermanfaat bagi kita. Misalnya lumpur yang dibawa banjir menjanjikan kesuburan bagi lahan pertanian seperti sungai Nil meluapkan lumpurnya bagi peradaban Mesir Kuno. Atau kita bisa berpikir non konvensional seperti membangun wisata banjir. Mengapa tidak?
Metropolitan seperti Jakarta memiliki potensi untuk wisata tak lazim ini mengingat debit air banjir yang cukup besar dan relatif konstan. Kita cukup memiliki banyak insinyur untuk memikirkan teknisnya. Tentu ada banyak lagi ide yang bisa diujicobakan untuk mengubah banjir dari sekadar ancaman menjadi peluang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H