2024 masih dua tahun lagi tetapi kasak kusuk tentang pemilu sudah semakin berisik. Jokowi tidak lagi menjabat di tahun itu. Orang-orang yang diprediksikan maju dalam pemilihan presiden sudah mengambil langkah-langkah strategis. Lembaga-lembaga survei mulai bekerja. Nama-nama dimunculkan lengkap dengan persentase peluang terpilih. Dalam dua tahun kedepan ini perbincangan tentang pemilu akan semakin intens.
Kontestasi Pemilu mirip dengan piala dunia. Dana yang besar dan antusiasme yang tinggi menyita perhatian massa, membuat seolah tahun demi tahun dilalui hanya demi putaran final. Semua golongan terlibat tetapi pada akhirnya hanya sebagian kecil golongan yang meraih kemenangan. Ada banyak peserta. Ada banyak identitas yang bertarung, saling berebut dan saling mengalahkan. Pemenang menjadi pemerintah dan yang kalah menjadi oposisi. Dalam lima tahun dua kubu ini tidak jarang saling bergesekan dan berkonflik. Penontonnya adalah 260 lebih juta rakyat Indonesia.
Namun kenyataannya tidak semua rakyat Indonesia terakomodasi dalam dua kubu tersebut. tidak semua orang benar-benar masuk kubu pemerintah atau benar-benar masuk kubu oposisi. Mereka berada di luar keduanya. Jumlahnya pun tidak sedikit. Bahkan mungkin lebih besar daripada total gabungan populasi yang ada di kedua kubu. Identitas sebagai warga negara memang iya karena mereka memiliki KTP. Akan tetapi keberpihakan dan keterlibatan mereka dalam politik sangat rendah.
Demokrasi di negeri kita memang belum semaju di AS. Mayoritas belum mengerti hak dan kewajiban politiknya, belum memahami visi dan misi parpol yang berkontes kecuali sebatas pemahaman formal. Artinya sebagian besar rakyat Indonesia hanya memahami Pemilu sebagai agenda wajib untuk menunjukkan eksistensi sebagai negara demokrasi. Dengan kata lain, asalkan posisi-posisi politik ada yang menjabat dan kehidupan sehari-hari berbangsa dan bernegara berjalan normal.
Â
Berikutnya yang terjadi adalah politik yang sangat transaksional. Politik uang merebak dan menjadi sebuah rahasia umum yang dianggap normal. Mindset politik sebagian besar orang tentang politik berubah menjadi sejenis komoditi yang bisa diperjualbelikan. Satu suara bisa dibeli dengan suatu harga. Situasi ini tentu sangat beresiko. Kemampuan berpolitik bangsa hilang dan segalanya bisa jatuh di dalam perdagangan. Sesegera mungkin politik transaksional yang menjurus pada politik uang ini harus ditangkal.
Merangkul semua golongan untuk berpartisipasi aktif dalam berpolitik merupakan sebuah proses panjang. Dalam proses ini para politisi, parpol dan negara semestinya menghadirkan ruang bagi setiap warga negara untuk menyuarakan kepentingannya, memperjuangkan haknya dan menemukan martabatnya di dalam berpolitik. Ruang tersebut adalah ruang untuk berdialog, bersama-sama menumbuhkan kesadaran tentang tujuan mulia politik, instrumen-instrumen untuk mewujudkan tujuan tersebut dan dampaknya bagi kemaslahatan bersama. Ruang politik yang aman, bebas diskriminasi, intimidasi dengan atmosfer saling menghargai adalah tempat di mana semua golongan menemukan identitasnya sebagai satu bangsa. Apalagi kalau bukan Bangsa Indonesia.
Ponorogo, 25 Oktober 2022
Ini pertama kali saya menulis di Kompasiana. Salam kenal Om dan Tante. Mohon dukungannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H