Pada hakekatnya anak merupakan suatu anugrah dan titipan dari Tuhan Yang Maha Esa yang dimana harus kita sayangi, lindungi, dan kita jaga harkat, martabat, dan hak-haknya sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun. Anak juga disebut sebagai aset bangsa yang dimana kemajuan sebuah negara berada di tangan generasi muda, generasi penerus bangsa inilah yang akan menjamin kelangsungan eksistensi negara pada masa depan yang akan datang. Sehingga setiap anak seharusnya dapat memikul tanggung jawabnya, dan harus diberikan kesempatan yang sebesar-besarnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik melalui fisik, mental, sosial dan moral.
Seorang anak memiliki hak khusus yang diakui dalam hukum internasional, termasuk hak atas perlindungan dari eksploitasi dan diskriminasi, hak atas pendidikan dan hak atas pertumbuhan dan perkembangan yang sehat. Ini berarti bahwa anak-anak membutuhkan rasa aman dan sejahtera, bebas dari segala penderitaan yang ada. Penderitaan itu mengambil masa kanak-kanak yang seharusnya untuk bermain dan belajar justru mereka dipaksa untuk bekerja. Kenyataannya banyak anak usia belajar dan bermain yang dipaksa bekerja lalu dieksploitasi oleh orang-orang terdekatnya, termasuk orang tuanya. Di Indonesia banyak kasus eksploitasi anak dengan berbagai motif, dan jumlah kasusnya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Salah satu kasus pelanggaran hak asasi manusia yang akan dibahas kali ini adalah "Eksploitasi Anak Yang Dijadikan Pengemis Oleh Orang Tuanya Di Kota Surabaya" Pada tahun 2021. Eksploitasi memang pelakunya tidak jauh-jauh dari sang anak yaitu orang tua sendiri, dan ketidakberdayaan orang tua yang menimpa mereka, menjadikan mereka pengemis. Tidak dapat disangkal bahwa kemiskinan adalah penyebab utama dari eksploitasi anak. Banyak data penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan sangat erat kaitannya dengan berbagai bentuk eksploitasi anak. Karena kemiskinannya, anak-anak itu terjun (lebih tepatnya diterjunkan) ke jalanan dan hidup liar dalam kehidupan tanpa norma keluarga. Karena kemiskinan itulah, membuat para orang tua dengan berani mengeksploitasi anak-anak mereka dengan harapan mereka akan segera dapat mengangkat diri dari kemiskinan.Â
Maraknya pengemis atau anak jalanan di Indonesia merupakan masalah sosial yang sangat kompleks. Menjadi pengemis atau anak jalanan bukanlah pilihan yang menyenangkan karena menempatkan mereka pada situasi di mana anak tidak memiliki masa depan yang jelas. Anak pengemis atau jalanan memiliki hak yang sama dengan anak lainnya. Perlindungan anak juga telah diatur dalam hak asasi manusia, dan tujuannya sesuai dengan isi Konvensi Hak Anak. Pasal 22 B ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: "Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi".
Kasus eskploitasi yang terjadi di kota Surabaya ini rata-rata pengemis anak masih dibawah umur, tidak hanya anak usia sekolah tetapi balita pun diajak oleh orang tuanya untuk mengemis. Anak-anak pengemis di Surabaya mendapatkan uang dengan bekerja di lampu merah, menjual koran di pusat kota Surabaya, dan cara lain untuk mendapatkan belas kasihan dari orang lain. Untuk mencari uang sebagian besar anak-anak ini bekerja dari pagi hingga larut malam. Lalu uang hasil dari mengemis digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan demikian, keluarga pengemis telah mengeksploitasi anak dengan mempekerjakan mereka sebagai pengemis jalanan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindakan eksploitasi terhadap anak yang dijadikan pengemis oleh orang tuanya, tetapi faktor yang sangat berperan dalam kasus ini adalah faktor kemiskinan atau ekonomi kemiskinan sebab ketidakmampuan orang tua untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan materialnya.Â
Bentuk perlindungan hukum kepada korban anak eksploitasi tertera pada ketentuan hukum terkait dengan perlindungan anak secara umum diatur dalam Pasal 52 -- Pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan juga pada Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, perlindungan khusus kepada anak sebagai korban tindak pidana dilakukan melalui: Â (1) Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun diluar lembaga; (2) Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi; (3) Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan (4) Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Tanpa adanya upaya dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di masyarakat terutama pada kasus eksploitasi anak yang dijadikan pengemis oleh orang tuanya tidak akan berjalan semaksimal mungkin, untuk itu peran dari pemerintah serta masyarakat sangat berpengaruh terhadap permasalahan ini. Berikut upaya yang akan dilakukan :
Pertama, Pemberian jaminan sosial dan pendidikan. Peran pemerintah dalam pemberdayaan anak jalanan adalah dengan mendirikan rumah singgah bagi anak jalanan. Di rumah singgah ini, anak-anak jalanan yang masih berkeliaran mengemis di jalanan akan dibimbing melalui program pendidikan luar sekolah, termasuk mengajar dan menanamkan keterampilan yang berkaitan dengan bakat dan minat mereka.
Keberadaan rumah singgah bagi anak jalanan sangat membantu fungsinya dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Dan dengan adanya pembinaan yang menanamkan nilai-nilai normatif, pengetahuan, wawasan, serta kesempatan untuk berinteraksi seperti bermain dengan anak-anak yang lain. Di rumah singgah inilah akan terbentuk sikap dan perilaku, terutama pada akhlak terhadap anak dan setiap perbuatannya harus sesuai dengan aturan, nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Akhlak dan pembentukan karakter ini pada dasarnya diajarkan untuk memenuhi kebutuhan anak dan mempersiapkan mereka menjadi masyarakat yang berguna, produktif dan memiliki masa depan yang cerah.
Â