Sudah tidak diragukan lagi ya kalau masyarakat Indonesia itu memang sangat beragam, dalam konteks keberagaman di Indonesia terjadi banyak sekali interaksi baik antar individu maupun kelompok. Salah satu jenis interaksi antar individu yang sangat beragam itu adalah adanya interaksi percintaan antar individu yang berbeda agama. Mulai dari artis papan atas sampai masyarakat biasa. Terlebih jika yang menjalin cinta adalah publik figur atau artis, beragam komentar netizen bermunculan seperti "siapa nih yang mau ngalah", "ayo ajak pacarnya log-in", dll.
Perasaan cinta yang datang pada hati kedua insan yang berbeda agama itu kemudian mengarahkan mereka untuk berkomitmen lebih mendalam, yakni perkawinan. Namun kebimbangan muncul ketika masing-masing dari mereka tidak ada yang ingin mengalah perihal siapa yang akan pindah agama. Karena jika dilihat kembali, masing-masing agama memiliki aturan tersendiri soal perkawinan.
Perkawinan beda agama memang tidak akan habis dibahas dan tak berkesudahan. Sebab aturan perundang-undangan yang dianggap masih simpang siur dan saling tumpang tindih menimbulkan multitafsir diantara para kalangan dan elemen masyarakat.
Meskipun dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menjelaskan perihal perkawinan yang sah dan larangan perkawinan yang disebabkan oleh aturan agama, akan tetapi banyak pihak yang mengatakan bahwa 2 pasal tersebut tidak secara jelas dan tegas mengatur tentang larangan kawin beda agama. Sehingga pihak-pihak inilah kemudian berpendapat terjadi kekosongan hukum aturan kawin beda agama di Indonesia.
Kekosongan hukum itu sendiri lalu dimasuki oleh Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, pasal tersebut menyatakan pencatatan perkawinan yang diatur oleh Pasal 34 UU Adminduk berlaku juga bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan. Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan beda agama.
Ketentuan dalam UU Adminduk inilah yang kemudian dijadikan sebagai pertimbangan bagi hakim dalam memutus perkara permohonan perkawinan beda agama. Dari putusan hakim yang satu, kemudian putusan hakim tersebut dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim lain dalam memutus perkara berikutnya yang serupa. Sehingga tidak heran jika di Indonesia kasus perkawinan beda agama marak sekali terjadi.
Di tahun 2023 ini, kasus perkawinan beda agama kembali mencuat dimana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan perkawinan beda agama antara JEA yang beragama Kristen dan SW yang beragama Islam. Berita dikabulkannya permohonan perkawinan beda agama tersebut kemudian tersebar dimana-mana pada berbagai kanal berita, sehingga peristiwa ini mendapat berbagai macam respon yang masif, sebagian mendukung, namun sebagian lain (lebih banyak) menentang.
Dengan maraknya kasus ini terjadi, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi memberikan jawaban atas segala keresahan yang terjadi, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-umat Berbeda Agama dna Kepercayaan. Isi dari SEMA Nomor 2 Tahun 2023 itu berbunyi:
"Untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:
1. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UNdang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan."
Diterbitkannya SEMA Nomor 2 Tahun 2023 ini sangat diharapkan dapat mengakhiri segala polemik perkawinan beda agama yang selama ini terjadi di Indonesia. Mengingat bahwa dalam pertimbangannya hakim diharuskan merujuk dan berpedoman pada SEMA tersebut sehingga sangat besar kemungkinan tidak ada lagi kasus permohonan perkawinan beda agama yang dikabulkan. Hakim atau anggota peradilan yang tidak tunduk pada SEMA dapat dikenai sanksi berupa hukuman disipilin berdasarkan Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan dan Jalan-Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia.
Perlu diingat bahwa, perkawinan bukan hanya akad secara jasmani/lahir saja, melainkan juga terdapat unsur rohani/batin yang sangat fundamental. Unsur rohani/batin inilah yang kemudian dapat mengantarkan pasangan dalam suatu rumah tangga kepada cita-cita perkawinan yang abadi, sesuai dengan prinsip dalam undang-undang perkawinan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan adanya kesamaan (sekufu) agama, maka perkawinan menjadi jalan ibadah yang dapat mendatangkan ladang pahala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H