Mohon tunggu...
Sofiya Hasanah
Sofiya Hasanah Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan womanpreneur

Perempuan berdaulat yang mengisi waktu kosong dengan karya. Agar tidak tertinggal, mari kita berdaya bersama-sama.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Angin Segar dari Mahkamah Agung: SEMA Larang Kawin Beda Agama

26 Juli 2023   09:43 Diperbarui: 26 Juli 2023   09:46 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perkawinan beda agama nampaknya sampai saat ini menjadi topik yang masih hangat untuk diperbincangkan. Putusan Pengadilan Negeri yang mengabulkan permohonan pelaksanaan perkawinan beda agama dianggap oleh sebagian besar masyarakat kita adalah hal yang melanggar norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebab inilah perkawinan beda agama kerap mendatangkan keresahan tersendiri bagi masyarakat, belum lagi aturan yang dianggap masih tumpang tindih ini mengakibatkan kebimbangan tersendiri perihal hukum perkawinan beda agama di Indonesia.


Mahkamah Agung Larang Hakim Mengabulkan Izin Perkawinan Beda Agama
Selama ini di Indonesia, jalur yang sah secara hukum untuk melaksanakan perkawinan beda agama adalah melalui pengajuan permohonan pencatatan perkawinan beda agama ke Pengadilan Negeri. Apabila Pengadilan Negeri mengabulkan maka perkawinan beda agama bisa dilaksanakan dengan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.
Putusan Pengadilan Negeri tersebut tentunya memiliki dasar hukum yang kuat, yakni mengacu pada sumber hukum Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 yang menyatakan perkawinan beda agama adalah sah di Indonesia dengan jalan penetapan pengadilan sejak terbitnya putusan tersebut, dengan begitu maka Kantor Catatan Sipil sudah bisa mencatatkan perkawinan beda agama.


Setelah puluhan tahun Yurisprudensi tersebut digunakan sebagai salah satu sumber hukum bagi para hakim, atas dasar banyaknya putusan serupa yang muncul dan demi mewujudkan keserasian hukum tentu hal ini membawa langkah tegas yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.


Tanggal 17 Juli 2023 lalu Mahkamah Agung resmi menandatangani dan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Keyakinan.


Berdasarkan SEMA ini, Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh sebab itu Mahkamah Agung memerintahkan para hakim untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan keyakinan.


Terbitnya SEMA tersebut mendapat respon baik dari ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, ia mengatakan bahwa mendukung penuh dengan adanya SEMA ini karena perkawinan bukan hanya kontrak sosial atau ikatan jasmani (lahir) saja, perkawinan juga merupakan peristiwa keagamaan yang memiliki dimensi spiritual.


Berfungsi Sebagai Petunjuk, Bukan Regulasi
Meskipun berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman bagi hakim, MA mengklaim aturan tersebut dibuat untuk mendapat kepastian hukum dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan beda agama,  serta dalam memutus perkara tersebut para hakim harus berpedoman pada ketentuan yang tercantum didalam SEMA.


Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Teguh Satyabudi menegaskan Kantor Catatan Sipil akan tunduk penuh pada penetapan pengadilan dan tidak akan mencatat perkawinan beda agama sepanjang tidak dikabulkan melalui penetapan pengadilan. Menurutnya, Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan telah mengatur pencatatan perkiwanan yang ditetapkan oleh pengadilan, salah satunya perkawinan yang dilakukan antar-umat beda agama dan keyakinan.

Bagaimana Sikap Mahkamah Konstitusi?
Terkait perkawinan beda agama, MK telah beberapa kali mengeluarkan putusan terhadap uji materi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Permohonan uji materi yang terbaru diajukan oleh E. Ramos Petege seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam. Dalam amar Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022, MK menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.


Hakim MK mengatakan alasan para pemohon tidak beralasan hukum, menurut MK Undang-Undang Perkawinan telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 serta dapat menampung segala kenyataan hidup dalam masyarakat.


Dalam pertimbangan yang lain MK berpendapat, dalam perkawinan terdapat kepentingan dan tanggung jawab agama dan negara yang saling berkait erat. Merujuk pada Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, MK memberikan landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara, yakni dalam perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun