Pada awal Bulan Juni 2022, terdapat berita dari pengadilan negeri surabaya yang mengabulkan perkawinan beda agama antara laki laki muslim dan wanita non muslim (kristen). pasangan beda agama RA dan EDS telah melangsungkan pernikahan mereka menurut agama masing-masing di Surabaya, Jawa Timur. Setelah melakukan perkawinan secara Islam - agama yang dianut oleh RA - pasangan itu kemudian melakukan pemberkatan pernikahan secara Kristen - sesuai agama EDS - di hari yang sama. Sebagai bagian dari administrasi, mereka melakukan pencatatan pernikahan beda agama mereka di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) setempat. Tapi permohonan mereka ditolak. Keduanya akhirnya mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Surabaya dan pada akhir April silam, Pengadilan Negeri Surabaya mengabulkan permohonan pernikahan beda agama tersebut dan memerintahkan Dinas Dukcapil untuk melakukan pencatatan perkawinan ke dalam register pencatatan perkawinan.
Tentu saja berita ini menuai pro dan kontra dari publik dan MUI (Majelis Ulama Indonesia). MUI (Majelis Ulama Indonesia) meminta agar putusan tersebut dibatalkan karena perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Para pakar hukum tata negara menyatakan bahwa pasal multi tafsir dalam UU perkawinan yang mengatur bahwa perkawinan sah dilakukan menurut hukum masing-masing agama. Sebenarnya pernikahan beda agama bukanlah hal yang melanggar hukum di Indonesia, akan tetapi pelaku perkawinan beda agama sampai sekarang masih memperjuangkan pengesahannya melalui putusan pengadilan. Hukum di Indonesia tidak secara spesifik melarang pernikahan beda agama, akan tetapi undang-undang perkawinan membuat ketentuan nikah beda agama menjadi multi-tafsir dan kental dengan bias ideologi keagamaan.
Dalam pertimbangannya, hakim memutuskan untuk mengabulkan permohonan pernikahan pasangan beda agama itu karena dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang pernikahan, tidak mengatur mengenai pernikahan beda agama. Hakim juga mempertimbangkan bahwa kedua mempelai "mempunyai hak untuk mempertahankan agamanya" sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan memeluk keyakinan. Putusan hakim juga mempertimbangkan bahwa keinginan pasangan beda agama itu telah mendapat restu dari masing-masing keluarga. Namun, putusan pengadilan itu ditentang keras oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyebut pernikahan beda agama sangat bertentangan dengan aturan negara.
Perkawinan itu adalah hak asasi manusia, jadi negara berkewajiban untuk memfasilitasi, bagaimana supaya secara hukum negara ikatan perkawinan itu bisa bermanfaat secara perdata karena kan sebenarnya pernikahan antara dua orang lebih banyak untuk hubungan keperdataan, untuk kejelasan waris, pajak dan percampuran harta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H