Laki-laki yang kutemui di 2019
Sebuah terik yang membakar, memanaskan tulang-tulang tambah pegal. Kapan panas ini jadi teduh? keluh seorang muda berjaket jingga. Entahlah tak biasanya laki-laki memakai warna jingga. Tapi siapa peduli dengan outfit seseorang di macetnya jalan sepelik ini?Â
Lalu dari jaraknya berdiri, diedarkannya mata elang yang dingin. Seperti tidak ada kehidupan diwajahnya. Tatapan itu seakan menyiratkan sesuatu yang ganjil. Bukan hanya kemacetan biasa. Aku sendiri sangat sibuk mempraktikkan cara bernafas yang baik. Konon cara bernafas akan berpengaruh pada otak.Â
Ku pejamkan mata, tarik nafas dalam namun, alangkah malang, bau keringat menguar dari arah depan. Nafas ku terjadi begitu saja dan terhempas tidak dalam tempatnya. Sayang sekali. Tempat ini, tak memungkinkan ku untuk bernafas dengan baik.Â
Aku edarkan pandang sejauh yang ku bisa. Ibu yang dengan sabar menenangkan sang anak, sesekali menunjuk-nunjuk jendela atau diam-diam menunjuk orang-orang sekitar sambil membisikkan kata-kata ditelinga anaknya. Entah apa yang dikatakan, tapi setidaknya untuk beberapa saat sang anak tidak merengek.Â
Lalu di kursi nomor 3 dari depan ada seorang bapak yang tidur kelelahan, entah berapa pelik pekerjaannya. Sedang dikursi dua dari belakang seorang nenek mengomel dengan bahasa daerahnya, sang anak mencoba menenangkan. Namun justru malah menjadi marahnya.
Dari sekian ekspresi yang ku tangkap, laki-laki berbaju jingga masih ditempatnya berdiri. Memaku bumi dengan perasaannya sendiri. Entah apa yang ia pikirkan. Â Sedang aku masih memperhatikannya, pandangan beralih ke arahku. Untuk beberapa saat pandangan kami bertemu. Satu.. dua.. tiga.. bagai detak jarum jam. Aku menunduk lalu membuang pandangan ke arah jendela.
Macet diluar mulai reda. Berisiknya bis antar kota mulai mereda. Tak lama aku turun di terminal yang ku tuju. "Gadis berhijab abu? kau kah disana?" ku rasa suara dari pemuda berbaju jingga. "Jingga?"
"Ya, ini aku. Kau seperti tak mengenalku, mengapa?"
"memang ku tak tahu, aku tak biasa berbicara dengan orang asing."
"Benarkah itu dari mulut mu gadis penyuka teh?"
"Apa kau, laki-laki penyuka kopi itu?"
"Polisi sedang banyak kasus Teh, bagaimana pendapat mu?"
"Bukankah Kopi lebih tajam dalam menganalisi. Oh ya Kau tau, bupati kita menang lagi,"
"Ah, itu. sudah ku duga My Tea. Tapi masihkah perasaan itu juga untukku?"
"Maksudmu?"
"Ucapan selamat tinggal dan janji agar semesta bekerja,"
'Tidak! apakah dia masih ingat dengan perjanjian antar dua insan yang baru wisuda sarjana. Tanah terlalu cepat untuk merajut kisah dengan seseorang yang ku kenal di 2019?'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H