Di atas bangku kayu yang reyot, lelaki itu menjelujurkan kedua kakinya. Rumahnya beratap rajutan daun sagu. Beberapa potong ubi dari sebuah panci yang diletakannya di atas selembar daun pisang menemani senja kelalahannya.
Dinikmatinya perlahan sepotong demi sepotong ubi rebus, diteguknya pula sisa kopi di gelas untuk melancarkan jalannya kunyahan ubi melewati tenggorokannya. Gelas itu belum sempat diletakan, sisa sedikit kopi diteguknya kembali hingga tandas. Setelah itu gelas diletakan di bawah bangku, kemudian diambilnya puntung ketengan rokok tembakau yang terselip di sela-sela telinganya. Disulut dan dihisapnya kuat-kuat, asapnya dihembuskan perlahan-lahan.
Nikmat sekali hidupnya. !
Tumpukan karung kopra di sampingnya.
Pikirannya menerawang jauh. Menatap seorang anak kecil.
Manatap, nasibnya!.
Nasib cucu kesayangannya.
Cucu dari seorang anak perempuannya. Penjahit, berijazah Aliyah.
Bibirnya hitam dan kering itu tersenyum-senyum sendiri.
Rasa hatinya bahagia sekali.
“Kek, ini tembakau titipan om Dado!”
Anak perempuannya marah!
Memarahiku !
Hingga disenja ini. Tak pernah kuketahui, apa penyebabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H