Puasa Ramadhan 1444 H usai sudah. Sudah dua minggu lebih ummat Islam memasuki bulan Syawal. Bulan yang sejatinya merupakan awal evaluasi, pemeliharaan dan peningkatan  segala amal saleh yang dilakukan selama  bulan Ramadhan yang lalu. Untuk kepentingan minimal satu tahun ke depan sampai dengan bulan suci Ramadhan yang akan datang atau bulan-bulan suci tersebut berikutnya.
Selama satu bulan kita bukan hanya sekedar menahan hawa nafsu makan dan minum. Tapi melakukan segala tindakan dan perilaku yang bermanfaat tidak  hanya untuk diri sendiri, juga buat orang lain yang membutuhkan perhatian dan kepedulian dalam berbagai aspek kehidupannya. Untuk masa sekarang dan akan datang. Hingga berbagai kesenjangan dan masalah antar manusia dapat terus dikelola dan diatasi secara berkelanjutan.
Esensi ibadah Ramadhan adalah penyadaran diri terhadap pentingnya merawat diri , mengelola emosi, meningkatkan iman dan imun tubuh, agar tetap bugar, sehat fisik, mental, sepiritual, dan sosial ( Muhbib Abdul Wahab,  uinjkt.ac.id, 28 Maret 2023 ). Pertanyaannya: sejauh mana kita selalu sadar dan mampu mengamalkan serta memelihara hasil puasa dalam hubungan yang bersifat pribadi dengan  Tuhan pencipta alam semesta, antar individu dan dalam kehidupan sosial pada umumnya.
Sejalan dengan pikiran tersebut, khatib shalat Jumat tanggal 14-03-2023 di masjid Al-Irfan Komplek Perumahan dosen UI Ciputat mengingatkan kita: ada 3 ( tiga ) karakteristik ummat manusia yang dianggap berhasil puasanya, yaitu kedermawanan, pengelolaan emosi, dan saling memaafkan.
Kedermawanan adalah perhatian, sikap, tindakan dan perilaku peduli terhadap masalah-masalah orang lain. Wujud nyata kedermawanan seseorang dan atau lembaga-lembaga terkait adalah  kebiasaan dan tanggung jawab menyisihkan sebagian aset, kekayaan material dan immaterial bagi kebutuhan orang lain tanpa pamrih.
Kedermawanan pun bisa diukur berdasarkan tingkat kepedulian dan empati kita terhadap berbagai kondisi sosial saudara, tetangga, kerabat dan handai tolan tanpa membedakan suku, agama, ras atau  bangsa yang masih berada dalam kondisi dan situasi serba keterbatasan atau sering diartikan secara harfiah sebagai golongan masyarakat fakir miskin dan duafa dalam segala aspek  di bidang bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya serta pendidikan.
Namun tidak bisa dihindari, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau , bahwa  sebagai makhluk sosial , kehidupan dan interaksi manusia  selalu berkaitan dengan masyarakat dan individu yang lainnya dalam keragaman latar belakang suku, bangsa, agama, pendidikan dan pengalaman. Keangkuhan sosial dan  ketidakadilan perlakukan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, selain potensial menimbulkan kesenjangan, juga memungkinkan  timbul masalah superioritas- inferioritas antar suku, bangsa dan agama. yang lebih kompleks dan rumit  serta luas.
Kedermawanan bukanlah aksi sesaat, ketika hanya selesai puasa wajib di bulan Ramadhan, atau saat lebaran  tiba, atau juga ketika silaturahim mudik berkumpul bersama orang tua dan saudara. Kedermawanan harus berakar kuat dalam keimanan dan ketakwaan serta  tanggung jawab manusia sepanjang hayatnya hingga kondisi ekonomi dan kesejahteraan  masyarakat semakin baik dan sehat.
Jika setiap tahun kuantitas dan kualitas fakir miskin atau  duafa  masih semakin bertambah, berarti pengelolaan kedermawanan kita baru sampai pada tingkat narsis, pamer, bahkan mungkin hanya sekedar iklan  atau pencitraan individual dan institusi-institusi sosial saja. Meminjam istilah Gita Wiryawan di kanal Youtube-nya ketika berbincang-bincang dengan tokoh akhli tafsir terkemuka dan kontemporer, Quraish Shihab: Era medsos berbasis teknologi digital seringkali segala tindakan kita lebih mengedepankan festivalisasi dan sensasionalisasi tanpa editorialisasi. Menurut Prof Quraish Shihab, kita kerap mengungkapkan semua hal yang kita ketahui di medsos, tanpa berpikir panjang tentang akibat dan manfaat bagi orang lain.