Ada kalanya individu mengalami kecemasan yang nampak berlebihan. Hal ini bisa menyebabkan ketegangan, ketakutan, dan kehawatiran. Menurut Nevid, dkk (2003), kecemasan (anxiety) adalah suatu keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Memang wajar dan normal jika dalam diri individu memiliki kecemasan, baik mengenai kesehatan, keselamatan, kondisi lingkungan, dan sebagainya. Kecemasan merupakan respon dari adanya ancaman dan ketika kecemasan tersebut tidak sesuai dengan ancaman atau bahkan tidak bersumber dari ancaman apapun, itulah yang disebut abnormal dan termasuk dalam gangguan kecemasan (anxiety disorder).
DSM yang merupakan pedoman klasifikasi gangguan mental, menyebutkan beberapa macam gangguan kecemasan, salah satunya adalah Gangguan Obsesif-Kompulsif (Obsessive-Compulsive Disorder/OCD). Gangguan ini berupa perilaku yang terdorong untuk selalu dilakukan berulang-ulang. Bagi penderita, dengan melakukan perilaku yang berulang-ulang, ia dapat mengurangi kecemasan dalam dirinya.
Kebanyakan gangguan ini tergolong dalam dua kategori, yakni ritual pengecekan (checking) dan ritual bersih-bersih (cleaning). Pernahkah Anda mengecek pintu dan jendela berulang kali sebelum meninggalkan rumah? Atau pernahkah Anda membersihkan sesuatu dengan memakan waktu yang lama hanya untuk memuaskan Anda mengenai kebersihannya? Dan seberapa seringkah perilaku tersebut Anda lakukan?
Jika Anda sering melakukan hal serupa dengan contoh di atas dan Anda merasa sulit mengendalikan untuk tidak terus mengulangi perilaku tersebut, maka Anda termasuk mengalami OCD. Hal tersebut dijelaskan oleh Nevid, dkk (2003) yang menyatakan bahwa DSM membuat diagnosis gangguan ini bila orang terganggu oleh obsesi atau kompulsi yang berulang, atau keduanya sehingga menyebabkan distres yang nyata atau secara signifikan mengganggu hal-hal rutin yang normal, fungsi kerja, atau sosial.
Lalu, apa definisi obsesi dan kompulsi? Nevid, dkk (2003) menjelaskan pula bahwa obsesi adalah suatu pikiran atau gambaran yang muncul berulang-ulang dan tidak dapat dikendalikan oleh invididu. Sedangkan kompulsi adalah dorongan untuk berperilaku yang repetitif (berulang) dan ritualistik yang individu harus lakukan. Contoh ritual adalah berwudhu sebelum melaksanakan salat. Perilaku ini menjadi abnormal ketika individu sering merasa ragu, apakah ia sudah melakukannya dengan benar atau belum, sehingga ia mengulangi wudhu berkali-kali. Jika tidak diulangi, maka akan muncul keraguan dan kecemasan dalam dirinya. Oleh karena itu, ia tidak dapat mengendalikan pengulangan tersebut. Hal itulah yang dinamakan obsesi.
Kemudian dalam referensi lain, yakni karya Alaydrus (2013) juga membahas tentang OCD namun menamakannya dengan was-was. Ya, itulah istilah yang sering kita dengar dan dapat menggambarkan gangguan ini. Menurutnya, was-was adalah bisikan setan yang berharap orang akan menjadi malas melakukan ibadah dan justru meninggalkannya. Pengertian tersebut memfokuskan bahasan ini kepada hal ibadah.
Alaydrus mengutip perkataan Ibnu Abbas RA, yakni “Was-was adalah penyakit orang mukmin”. Sehingga menurutnya, perkataan tersebut dapat disimpulkan dalam dua hal, yakni pertama, orang yang mengalami penyakit ini adalah mukmin, karena orang yang tidak beriman tidak akan peduli mengenai keabsahan dan kesempurnaan ibadahnya. Kedua, was-was itu adalah penyakit dan sudah seharusnya diobati, karena was-was dapat merusak ibadah jika terus dibiarkan.
Berdasarkan pengertiannya, sumber was-was sesungguhnya berasal dari setan. Alaydrus (2013) menyebutkan bahwa Imam Ghazali dalam minhajnya mengatakan beberapa hal untuk menghadapi kejahatan setan, yakni pertama, kita harus berusaha melawan bisikan/dorongan itu dan jangan mengikuti. Yakinkan diri bahwa kita telah melakukan ibadah dengan sempurna karena keraguan yang kita alami tidaklah benar. Kedua, ikutilah pendapat ulama yang berpendapat ringan dalam masalah tersebut. Islam memiliki beberapa ulama yang berpendapat berbeda, termasuk dalam hal Fiqih. Sehingga kita dapat mengikuti pendapat ulama yang ringan dan tidak perlu ragu mengenai masalah ibadah. Ketiga, mohonlah perlindungan Allah dari godaan setan. Jika pikiran kita senantiasa terfokus pada mengingat Allah, maka Allah tidak akan mengizinkan sesuatu yang negatif mengganggu pikiran kita.
Begitu pula dengan Psikologi yang juga memiliki berbagai terapi dalam menangani OCD. Salah satunya dengan Terapi Kognitif-Behavioral (Cognitive-Behavioral Therapy/CBT). Terapi ini menggunakan teknik pemaparan dengan pencegahan respon. Pemaparan yang dimaksud adalah penderita/klien dihadapkan pada kondisi yang dapat memunculkan pikiran obsesifnya, misalnya meninggalkan rumah. Kemudian pencegahan respon merupakan usaha untuk mencegah timbulnya tingkah laku obsesif dan kompulsif. Dalam hal ini, klien tidak diperbolehkan memeriksa pintu rumahnya yang sudah terkunci. Dengan percobaan yang berulang-ulang, kecemasan dan keraguan klien akhirnya berkurang dan ia akan merasa kurang terdorong untuk melakukan ritual itu. Menurut Abramowitz (dalam Nevid, dkk, 2003), secara keseluruhan, 4 dari 5 orang yang menjalani terapi ini menunjukkan perbaikan yang signifikan. Selain itu, terapi ini dapat dikombinasikan dengan terapi obat (penggunaan antidepresan tipe SSRI).
Mari menghindari gangguan ini dengan senantiasa mengingat Allah SWT dan yakin terhadap diri sendiri. Semoga bermanfaat, amiin :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H