Berbicara mengenai psikologi komunitas yang notabene berorientasi terhadap peningkatan kualitas suatu komunitas, saya jadi teringat dengan sinetron ramadhan “Hanya Tuhan-lah Yang Tahu” yang berkisah tentang suatu kapung yang warganya sebagian besar adalah pencuri, maling, dan ada seorang tetua desa yang merupakan seorang dukun. Di sana pencurian adalah menjadi profesi yang wajar dan normal. Para ibu di desa tersebut sehari-hari adalah berjudi dan minum minuman keras.
Suatu hari, ada seorang santri di suatu pesantren yang diutus oleh kyainya agar datang dan masuk ke desa tersebut demi mengubah perilaku dan memperbaiki akhlak warganya. Karena sangat patuh terhadap sang kyai, santri tersebut pun bersedia.
Ketika masuk ke desa, sang santri mengaku sebagai seorang pencuri kelas kakap yang sedang bersembunyi dari kejaran polisi. Awalnya warga di sana curiga dengan santri tersebut, mereka takut sang santri adalah seorang pemuda muslim yang ingin mengubah desanya. Namun karena merasa seprofesi, warga di sana pun akhirnya menerimanya.
Banyak kesulitan yang dialami sang santri dalam mengemban tugas tersebut. Ia harus sembunyi-sembunyi dalam melaksanakan ibadah, ia pun harus berpura-pura pro terhadap perilaku warga setempat. Hal ini dilakukannya agar masyakarat dapan menerima dan mempercayainya dengan seutuhnya.
Sedikit demi sedikit pola pikir warga diubah oleh sang santri. Ketika itu ada dua orang warga yang berdebat tentang asal usul dunia, sang santri pun menjelaskan bahwa dunia dan seisinya merupakan ciptaan Allah SWT. Kedua warga tersebut mulai memikirkan siapakah Allah sebenarnya. Selain itu, pernah pula sang santri menceritakan tentang surga dan neraka kepada anak-anak desa tersebut. Anak-anak itu mulai menceritakannya pula kepada orang tua mereka kalau perbuatan jahat akan dibalas dengan siksaan di neraka. Walaupun tidak sepenuhnya percaya, anak-anak dan orang tuaya tersebut mulai memikirkan apa yang disampaikan oleh sang santri.
Itulah sepenggal cerita dari sebuah sinetron yang sebenarnya mengandung peran psikologi komunitas, yakni terapan psikologi yang berfokus pada penanganan atau peningkatan kualitas suatu komunitas. Dalam psikologi komunitas, terdapat prevensi, yakni pencegahan yang dilakukan agar komunitas tidak mengalami masalah secara sosial. Jika telah mengalami masalah, maka psikolog membantu pencegahan agar maslah tersebut dapat dikurangi bahkan tidak terjadi lagi.
Berdasarkan kasus pada sinetron di atas, prevensi dilakukan bukan oleh psikolog, namun oleh sang santri. Ia mencoba mencegah warga desa yang telah memiliki masalah dalam kesalahan memahami profesi yang baik agar mengurangi tindak pencurian bahkan menghapuskannya. Tindakan sang santri patut dicontoh oleh kita semua yang memiliki kesadaran lebih untuk mengubah masyarakat kita agar menjadi lebih baik.
Semoga bermanfaat, amiin :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H