Mohon tunggu...
Sofia Karolitna Surbakti
Sofia Karolitna Surbakti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Hai, saya menggunakan kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi untuk Kursi Para Pemilik Dinasti

4 Januari 2025   20:53 Diperbarui: 4 Januari 2025   20:53 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tanggal 20 Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan sebuah keputusan mengenai ketentuan ambang batas usia calon kepala daerah yang harus dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan pada saat pelantikan pasangan terpilih. Ambang batas yang ditentukan adalah minimal berusia 30 tahun untuk setiap pasangan yang mencalonkan. Namun, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) menggelar rapat untuk mengubah UU Pilkada yang bertentangan dengan putusan MK, yaitu agar ambang batas usia paslon ditentukan pada saat pelantikan pasangan terpilih. Jika diamati dengan saksama, hal tersebut dilakukan untuk mengamankan posisi seseorang dalam pemilihan. Masyarakat yang murka mulai menaikkan tagar "Kawal Putusan MK" dan "Peringatan Darurat" yang disertai dengan gambar Garuda Pancasila berlatar biru. Setelah viral di media sosial, aksi demo pun digiatkan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) dan massa dari Partai Buruh yang berlokasi di gedung DPR, MPR, dan kantor KPU. Tak hanya di Senayan, aksi demo juga dicanangkan di berbagai wilayah di Indonesia, seperti Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya. Namun, bukannya peringatan darurat, Ketua DPRD Lebak, Agil Zulfikar, malah memosting Garuda Biru versi 'Indonesia Baik-baik Saja' di laman Instagram-nya. Sangat disayangkan karena seseorang yang seharusnya menjadi perwakilan dari rakyat dan menyediakan telinga terhadap seluruh keluhan rakyat, malah dengan entengnya menyepelekan situasi tersebut, demi menyelamatkan kekuasaan. 

Sejak pelanggaran konstitusi yang dilakukan semasa Pilpres, semakin banyak kejanggalan-kejanggalan yang terjadi di dunia demokrasi Indonesia. Baru-baru ini, fenomena terkait pasangan calon perseorangan di Pilkada DKI Jakarta 2024, Dharma Pongrekun dan Kun Wardana menggemparkan publik, terutama warga Jakarta yang secara tiba-tiba tercatat sebagai pendukung dari paslon tersebut. Sungguh menyedihkan, para pejabat dengan sewenang-wenang menggunakan data masyarakat untuk mengenyangkan para penguasa yang lapar akan kekuasaan. Apakah setelah terpilih mereka dapat memberikan sesuap nasi bagi mereka yang terpinggirkan? Tentu saja tidak.

Selain itu, ada kerja sama dari berbagai partai politik untuk "memonopoli" Pilkada DKI Jakarta 2024, lantaran dibentuknya Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang berisikan dua belas parpol untuk mendukung paslon Ridwan Kamil dan Suswono. Hal tersebut dilakukan untuk melanggengkan dan menyelamatkan posisi dan kedudukan dari beberapa oknum. Hal ini pula berdampak pada terhambatnya Anies Baswedan maju ke kontestasi pilkada lantaran hanya tersisa satu parpol yang dapat mengusung, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Menolak berkoalisi sama dengan menolak jatah dari uang rakyat yang mampu membuat semua mata berbinar-binar. Tetapi ternyata, Pilkada DKI Jakarta 2024 justru dimenangkan oleh paslon dari PDIP, yakni Pramono Anung dan Rano Karno.

Negara demokrasi hanya tinggal angan-angan. Ketiga unsur kekuasaan memang bekerja sama, tetapi bukan untuk mewujudkan kepentingan rakyat, tapi untuk menjamin kenyamanan dan keamanan diri dan antek-anteknya. Tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh DPR dengan merevisi UU Pilkada membuktikan bahwa konsep demokrasi memanglah berjalan di Indonesia, namun dengan tujuan yang berbeda. Sekarang, demokrasi telah berpusat pada penguasa, bukan lagi "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat." DPR tidak hanya merevisi undang-undang, tetapi juga merevisi pandangan masyarakat mengenai unsur mewakili rakyat yang terdapat pada kata "Dewan Perwakilan Rakyat." Entah kemana arah demokrasi di negeri tercinta. Negara sudah didesain sedemikian rupa agar sesuai dengan keinginan para penguasa. Rakyat bersuara, tapi pemerintah bekerja sebagai peredam; tangis, amarah, dan kekhawatiran rakyat akan masa depan tanah air. 

Dewasa ini, demokrasi di Indonesia tampaknya hanya menjadi sebuah sejarah saja. Semua mata sudah tertuju pada dinamika demokrasi di tanah air tercinta, tapi, lagi, lagi, dan lagi, para penguasa yang lapar akan kekuasaan, melarikan diri dari tanggung jawab, menghalalkan segala cara, dan membiarkan rakyat mengemis keadilan yang sedari awal memang tidak pernah ada. Trias politika yang seharusnya membagi wewenang dari tiga unsur kekuasaan negara dengan masing-masing unsur menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, seperti hanya menjadi omong kosong saja. MK yang seharusnya menjadi pengawal dan penafsir konstitusi, kini menjadi pihak yang malah mengkhianati konstitusi. DPR yang seharusnya menyusun undang-undang yang mewakili suara rakyat, kini hanya memastikan kepentingan para penguasa terpenuhi dengan baik. Presiden yang seharusnya bersikap netral semasa pemilu, kini menunjukkan keberpihakannya kepada orang-orang yang memiliki ikatan darah dengannya. Hal ini menjadi pertanyaan besar, bagaimana bisa sebuah negara demokrasi berubah menjadi negara para pemilik dinasti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun