"Mama terlalu memanjakan Sonny. Dia itu sudah dewasa, Ma. Sembilan belas tahun. Sudah punya KTP, SIM, dan bisa menyetir motor. Jadi seharusnya sudah bisa mengurus dirinya sendiri!"
Aku diam saja mendengar teguran Thomas. Ini bukan baru pertama kalinya dia mengingatkanku bahwa keponakannya itu sudah dewasa. Biasanya aku membantah dengan mengatakan kasihan Sonny sudah tidak punya ayah, sedangkan ibunya menghilang entah ke mana. Kasihan anak itu mengalami penderitaan batin sebelum waktunya. Kasihan Sonny begini. Kasihan Sonny begitu....
Lama-kelamaan aku sendiri lelah berdalih sedemikian rupa. Terserah apa pendapat orang atas sikap kasih sayangku terhadap cucuku itu. Aku turut mengasuhnya waktu bayi dulu karena kedua orang tuanya sibuk bekerja. Setelah menikah, Rendy tinggal di rumah kontrakan ibu mertuanya. Sama halnya denganku, ibu mertua anakku itu juga seorang janda. Suaminya telah meninggal dunia sebagaimana ayah dari anak-anakku.
Setiap hari aku berjalan kaki ke rumah besanku. Demi mengunjungi cucuku tercinta. Aku jatuh hati sejak pertama kali melihat anak itu. Wajahnya mirip sekali dengan ayahnya semasa kecil. Kasih sayangku tercurah untuk Sonny melebihi cucu-cucuku yang lain, yaitu yang terlahir dari benih Thomas. Perasaan ini sama halnya dengan kasih sayangku yang lebih melimpah untuk Rendy dibandingkan dirinya.
Melihatku diam saja tak menanggapi kata-katanya, anak bungsuku itu melanjutkan, "Bang Rendy dulu juga dimanjakan oleh Mama. Akibatnya dia tidak bisa mandiri sampai akhir hayatnya. Pekerjaannya tak pernah berhasil, bahkan menumpuk hutang yang banyak. Tapi gaya hidupnya tetap boros. Sering beli baju dan sepatu bagus, makan enak-enak di luar, berlibur ke sana kemari dengan istri dan anaknya. Mamalah yang selalu membiayai pengeluaran Bang Rendy. Aku sendiri bingung penghasilan istrinya sendiri dipakai buat apa? Setiap hari pergi kerja pagi dan pulang sore tapi kebutuhan sekolah anak masih minta tolong aku. Uang kontrak rumah mereka juga aku yang bayar. Padahal ibunya sendiri ikut tinggal di sana. Setiap hari Mama mengiriminya makanan. Juga uang jajan yang berlebih buat Sonny. Padahal Mama sudah tidak bekerja dan hanya mendapatkan uang dariku. Aku sampai sedih melihat hidup Mama yang keterlaluan hematnya. Penampilan Mama sangat sederhana sementara mereka hidup berfoya-foya terus!"
Semua perkataan anak bungsuku itu benar adanya. Memang begitulah sifat almarhum kakaknya. Suka hidup enak. Kalaupun tak punya uang untuk memenuhinya, dia tak malu-malu meminta uang padaku. Hutang-hutangnya di luar banyak. Aku juga tak mengerti dibuat apa saja uang  itu. Pernah dia beralasan untuk merenovasi rumah kontrakan mertuanya yang sudah lapuk. Juga untuk memulai usaha baru. Tapi entahlah. Semua usahanya tak ada yang berhasil. Ujung-ujungnya Rendy selalu datang padaku meminta uang.
Dengan ikhlas kukabulkan keinginannya. Bahkan lama-lama aku seperti otomatis selalu memberikan uang setiap kali dia datang. Demikian pula dengan istri dan anaknya. Mereka selalu mendapat limpahan makanan maupun uang jika datang berkunjung ke rumahku.
Saskia adalah istri pilihanku buat Rendy. Aku mengenal ibu gadis itu terlebih dahulu. Kami sering bertemu di acara arisan kampung. Karena merasa cocok mengobrol, kami akhirnya sepakat untuk memperkenalkan anak-anak kami.
Rupanya baik Rendy maupun Saskia tak merasa keberatan menjalin hubungan lebih lanjut. Aku yang merasa gadis itu adalah perempuan baik-baik kemudian memaksa Rendy untuk segera meminangnya sebagai istri. Karena aku takut anakku tidak awet hubungannya dengan Saskia dan kembali berpacaran dengan mantan kekasihnya yang lebih cantik. Perempuan itu seorang purel!
Ya, Rendy memang petualang cinta. Perempuan model apapun pernah dipacarinya. Yang terakhir adalah perempuan penghibur itu. Aku frustasi sekali waktu itu. Anakku sering kumarahi. Perempuan itupun kutegur dengan keras. Tapi mereka acuh tak acuh. Tetap saja hubungan mereka berlanjut.
Kalau sudah tak kuat mendengar omelanku, Rendy biasanya kabur dari rumah. Paling lama satu bulan kemudian dia akan balik lagi karena uangnya habis.