"Nggak usah," jawabku bersikeras. "Ayam goreng krispi itu kesukaan cucuku. Dia lahap sekali kalau makan itu. Kamu buatkan aku telur dadar saja."
"Masa setiap hari makan telur dadar, Bu? Ini ada rawon. Ibu makan, ya. Ibu kan dulu suka."
Iya dulu, batinku pedih. Dulu sewaktu Rendy masih hidup. Karena rawon adalah masakan kesukaannya. Ayah kandung Sonny itu adalah anak kesayanganku. Walaupun aku tidak ada masalah dengan Thomas, anak bungsuku, tapi Rendy selalu menempati posisi istimewa dalam hatiku.
Dia merupakan buah cinta kasihku dengan mendiang suamiku. Di saat kami berdua masih saling mencintai. Di saat perkawinan kami masih harmonis. Di saat kami belum mengalami kesulitan keuangan yang menimbulkan pertengkaran tanpa henti....
Tiba-tiba air mataku menitik. Warni menghela napas panjang. "Ya sudahlah, Bu, kalau nggak mau makan rawon. Saya buatkan telur dadar, ya."
Aku mengangguk. Lalu kuminta piring berisi ayam-ayam itu. "Nggak usah, Bu," tolaknya halus. "Saya hidangkan sendiri saja di meja makan."
"Biar aku saja yang bawa, War. Nggak apa-apa," sahutku berkeras.
Warni mengalah. Dia tahu tak ada gunanya menentang pendirianku. Aku masih sehat. Tak perlu terlalu dilayani. Aku malah suka melayani cucu kesayanganku. Menyiapkan makanan untuknya merupakan kebahagiaan bagiku. Sebagaimana yang dulu sering kulakukan pada mendiang ayahnya.
Sayang sekali, ketika aku mengangkat tanganku untuk menerima piring itu, tiba-tiba tanganku bergetar.
Pranggg! Piring itu terjatuh. Isinya berceceran di lantai dapur.
"Ibu nggak apa-apa?" tanya pembantuku panik. "Tangan Ibu gemetaran tadi sampai piringnya jatuh. Sudah, biar saya saja yang bersihkan pecahan-pecahan piring itu. Ayam-ayamnya jadi nggak bisa dimakan. Sonny makan rawon aja ya, Bu. Nanti saya gorengkan telur juga."