Remaja berusia enam belas tahun itu tampak tidak puas dengan hasil pemilihan kamar, karena kini hanya tersisa sebuah kamar mungil di belakang yang notabene untuk pembantu rumah tangga.
"Aku tidak mau menghuni kamar itu. Kecil, pengap," ujarnya bagaikan anak balita sedang merajuk.
Sang nenek tercinta segera menengahi, "Aku akan menempati kamar di belakang, Aku sudah tua, barang-barang pribadiku tidak banyak. Dan aku juga tidak tahan dingin. Di kamar belakang tidak ada AC, cocok untukku. Aku akan memakai kipas angin. Biar Joni dan Yani menempati kamar utama dan Sony menghuni kamar satunya."
Sony tersenyum senang. Joni dan Yani diam saja, tidak berani menatap Romy yang ekspresi wajahnya tampak geram. Ana menepuk pundak suaminya dengan lembut dan menyahut pelan, "Yah, bagaimana baiknya menurut Ibu saja."
Ibu mengangguk lega. Akhirnya di masa tuanya ia bisa tinggal di sebuah rumah milik sendiri, tidak berpindah-pindah kontrakan maupun kos-kosan lagi. Serta yang terpenting adalah dirinya bisa mengangkat harga diri Joni di mata istrinya karena tidak lagi hidup menumpang di rumah peninggalan mertuanya.
***
"Aduh, letih sekali," keluh ibu sehabis menyeterika tujuh potong pakaian. Diliriknya keranjang di sebelahnya yang masih penuh dengan tumpukan baju-baju anak, menantu, dan cucunya. Perempuan tua itu menghela napas panjang. Kalau dia memakai jasa cuci-seterika di luaran, maka akan mengambil jatah uang bulanan yang rutin diberikan oleh Romy. Sedangkan ini masih tanggal muda. Takutnya nanti ada kebutuhan mendadak yang memerlukan pengeluaran lagi.
Dicabutnya kabel seterika dan keluarlah ia dari kamarnya menuju ke ruang keluarga. Diambilnya sehelai tisu dan dihapusnya peluh yang bercucuran di dahinya. Lalu diteguknya segelas air dingin dan duduklah dirinya di sofa untuk beristirahat.
Tiba-tiba pandangannya terpaku pada foto pernikahan putra sulungnya. Pernikahan yang disesalinya seumur hidup. Yang membawanya pada kondisi mengenaskan seperti ini, diperlakukan bagai seorang pembantu oleh anak, menantu, maupun cucunya sendiri. Air matanya mulai berjatuhan.
Pelan-pelan ingatannya kembali ke masa lalu. Suaminya meninggal dunia akibat kecelakaan sepeda motor ketika Romy baru berusia dua tahun. Peran sebagai tulang punggung keluarga akhirnya berpindah ke pundaknya dan ia pun bekerja membanting tulang sehingga tidak sempat memberikan perhatian khusus kepada Joni. Ia tahu bahwa putra sulungnya itu tidak sepintar dan seulet Romy, adiknya. Joni merupakan seorang anak yang manja karena pada saat ia lahir, kondisi finansial orang tuanya masih mapan. Segala permintaannya dituruti dan ternyata hal itu justru merusak karakternya hingga dewasa.
Sebaliknya Romy lahir ketika kondisi perekonomian keluarga mulai terpuruk, sehingga mereka harus menghemat pengeluaran sehari-hari. Anak itu sudah terbiasa hidup prihatin sejak kecil. Berbeda dengan kakaknya yang sempat menikmati masa-masa kejayaan ayahnya selama bertahun-tahun.